Life, stranger than fictions..

Welcome to my blog! It's a pleasure to have you here reading my hyperbolic scribbles. Some are archived stuff from my other blogs (inactive ones), some are brand new ideas. My words will be too much, overrated, out of line, dysfunctional, confusing, impractical and sometime don't make any sense. But in a hand, they have released my tense.
So enjoy these imaginarium of free mind. In a case you are interested to drop a line, or jes wanna appreciate any posts, don't be hesitate. Do your deed! Release those hustle-bustle inside your brain!

Monday, January 31, 2011

[archieve] Cerita seputar selular

Siapa manusia Jakarta yang sehari-harinya tidak dilengkapi alat komunikasi yang paling mobile, selular? Selular, handphone, atau HaPe, sudah bukan barang mewah lagi. Mungkin yang bikin beda kasta cuma tipe atau kecanggihan si gadget. Sekarang ini rupa-rupa fitur dipepatkan dalam alat berdimensi sekecil itu: kalkulator, alarm, kamera, speaker stereo, perekam bunyi, pemutar musik, radio, penangkap siaran tivi, sampai koneksi internet. Semua dimaksudkan untuk memudahkan hidup sang pemilik. Itu kata pabrikan yang bikin...

Ada nih seorang teman baik yang gemar ganti-ganti HaPe. Dulu, waktu kami sering berwisata kuliner, dia merasa butuh HaPe dengan kamera beresolusi tinggi. “Untuk menangkap momen dan ambien,” katanya. Lama-lama perjalanan kita rada melambat karena isu berat badan dan penipisan isi dompet. Percakapan-percakapan panjang di tengah malam pun berkurang drastis. Maka dia membeli HaPe lain dengan bersistem CDMA. Karena tarif murah, kilahnya. Tapi kemudian dia kerepotan karena harus pegang dua HaPe. Digantilah set HaPe CDMA bawaan operator dengan sebuah HaPe yang mampu memakai dua sistem CDMA dan GSM. HaPe dengan kamera resolusi tingginya diberi nomer GSM lain. Jadi, dua HaPe masih di genggamannya. Terakhir, HaPe berkamera ditukar tambah dengan HaPe super canggih yang berparas dan berperilaku bak Blackberry. Katanya, HaPe itu bukan untuk bertelepon ria melainkan untuk koneksi internet. “Dengan begini, bisa selalu update status di fesbuk,” ujarnya. Dia tetap pegang dua HaPe lainnya.







Teman yang lain mendapat pinjaman (lungsuran) HaPe berdimensi mirip Blackberry dari kantor barunya. Satu-satunya cacat dari selular itu adalah ‘kelemotannya’: makan waktu 5-6 menit untuk mengirim 1 pesan SMS. Selama proses pengiriman tidak bisa menerima panggilan. Rencananya benda pinjaman itu akan ditarik lagi oleh pemiliknya, maka teman saya siap-siap mencari pegangan baru. Pilihan jatuh pada HaPe setipe dengan yang dimiliki teman baik saya di atas. “Gue butuh koneksi internet, Cip. Lagipula HaPe itu sudah 3.5G kan? Pasti cepat deh,” begitu dia berargumen. Tapi apa daya, ketika kita browsing ke mal, isi dompet tidak memadai. Bantuan kartu kredit saya juga tidak menolong. “Gila, mahal banget!” jeritnya. Alternatif tipe lainnya tidak dilirik sama sekali. Susah memang kalau pilihan sudah jatuh pada tipe yang paling superior. Lainnya jadi terlihat kuno sekali!

Lain lagi dengan sepupu saya yg selalu berubah HaPe setiap kali kami bertemu. “Sekeun. Beli dari tetangga. Murah mbak,” katanya. Di lain waktu, dia sudah pegang HaPe baru, “Yang ini bisa simpan MP3 sampai 100-an!” Tak lama, HaPe dia sudah lain lagi. “HaPe ini ada banyak games-nya, mbak. Lihat tuh, ada Sims. Kapasitas memorinya besar,” jelasnya. Saya tersenyum saja melihatnya.

Abang saya terkenal sangat slebor dg HaPe (dan barang-barang lainnya). Entah melayang kemana alam sadarnya, tapi HaPe dia hampir tidak pernah bertahan lebih dari sebulan. Kalau tidak tertinggal di suatu tempat, ya hilang diambil pencuri (karena tergeletak sembarangan). Pernah secara tidak sengaja saya menemukan HaPe dia di balik tumpukan majalah dan koran, dalam keadaan mati (batrenya habis). Setelah dihidupkan, ada sekitar 20-an miscall dan sejumlah SMS baru.

Ada lagi teman SD yg suka mengunduh ringtone dan gambar-gambar dari HaPe saya. Terakhir HaPe-nya malah dibeli teman sekantornya karena kontennya dinilai bagus. “Ditawar tinggi. Sebenarnya sayang, tapi kapan lagi? Keburu harganya tambah jatuh,” begitu jelasnya. Dia lalu membeli HaPe baru lainnya, yang kapasitas penyimpanannya besar. Lalu dia mulai mengunduh semua konten dari HaPe saya. “Tapi suaranya bagusan dari HaPe elu, ya?” sesalnya. HaPe sebelumnya se-merk dengan HaPe saya.



Saya sendiri sudah pegang HaPe yg sekarang selama 4 tahun lalu. Generasi pertama yang berfitur kamera dengan resolusi lumayan. Kapasitas penyimpanannya amat kecil dibanding HaPe-HaPe masa kini. Saya beli ketika baru diluncurkan, jadi terbayang harganya masih sangat tinggi. Kondisinya sudah lumayan belel. Selain sering terjatuh, pernah beberapa kali tercebur ke got tempat wudhu’ dan (maaf) kloset. Blup-blup-blup, trus mati. Saya hampir pingsan waktu pertama kali sadar HaPe masuk ke dalam kloset. Sesuai petunjuk saudara yg pernah bekerja di tempat reparasi selular, saya langsung membuka batre, sim card, dan berusaha mengeringkannya. Mulai pakai tissue, hairdryer, disinari lampu duduk, sampai dijemur di terik matahari. Tiga hari dunia sepi karena HaPe ko'it. Alhamdulillah, HaPe itu menyala lagi di hari keempat, meskipun ada bercak jalan air di display-nya. Saya berkaca-kaca sedih melihat bercak itu. Khawatir kalau tiba-tiba blep, mati. Mau dilego juga pasti harganya anjlok, atau malah tidak ada yg mau beli. Tiap malam HaPe itu saya letakkan di bawah sinar lampu duduk di samping tempat tidur. Ajaib. Sebulan kemudian bercak itu hilang!


Awal tahun lalu saya sdh ancang-ancang mau ganti HaPe. Tapi batal gara-gara musibah mobil tertabrak bus. Awal tahun ini sedikit terpikir untuk lihat-lihat HaPe baru. Tapi kok sepertinya HaPe tua saya masih bagus, ya?

Ngomong-ngomong HaPe tua, sebenarnya saya harus malu dengan teman saya yang lain lagi. Dia manajer pertunjukan sebuah teater seni yang sedang hip di Jakarta. Teman saya ini bergaul dengan berbagai kalangan, gayanya cukup trendi, dan up-to-date dengan kemajuan zaman. Pasti Anda mengira HaPe-nya semodern pemiliknya? Tidak, salah. Sure, dia pegang dua HaPe (menandakan pemiliknya sibuk), tetapi dua-duanya “busuk”! Salah satunya dari merk yang sekarang sudah tidak eksis lagi, yang kalau diaktifkan langsung memancarkan cahaya biru mesum. Belum berwarna lengkap spt HaPe-HaPe sekarang. Bentuknya mirip ulekan batu dari zaman prasejarah, lapisan luarnya kusam dan ngletek di sana-sini. HaPe satunya lagi lebih parah. Setiap kali ada panggilan, teman saya akan langsung menjawab: “Maaf, gue lagi sibuk. Kirim SMS aja, tulis urusan elu di situ. Nanti gue akan hubungi elu.” Banyak yang komplen, menduga itu voicemail. Tidak, salah lagi. Sesuai bocoran dari teman saya ini, suara lawan bicaranya konon sudah tidak bisa didengar lewat receiver HaPe itu. Makanya dia meminta lawan bicara untuk kirim SMS. La wong pas diangkat enggak terdengar suara apa-apa! He-he-he… Tapi teman saya tidak mau mengganti HaPe busuknya itu. “Buat apa? Yang penting ‘kan berfungsi. HaPe itu untuk menelepon, so far gue masih bisa pakai kok!” kilahnya. Benar juga.



"Cellular Film Grain," www.danceantonini.org




Saya jadi malu kalau tiba-tiba berhasrat ingin mengganti HaPe. Kondisinya masih baik. Lagi pula belum ada fitur tambahan yang mengakomodir kebutuhan saya: setrikaan. Jadi, bisa merapikan blus kusut sambil menjawab panggilan.

“Ring, riiing...!”
“Halo? Ouch! My ear!”

[archieve] Slumdog Millionaire: slummy face of India

Antara bangga, pedih, atau jujur? Film pemenang Golden Globe dan Oscar, "Slumdog Millionaire", berceloteh dengan gamblang tentang sisi gelap kehidupan pinggiran Kota Mumbay. Tentang kehidupan sepasang kakak-beradik warga muslim yang berubah kehidupannya setelah ibu mereka menjadi korban serangan warga Hindu. Mereka lalu dibawa oleh Maman, pemimpin sindikat pengelola anak jalanan yang kemudian mengeksploitir mereka untuk mengemis atau mengamen.

Salim & Jamal Malik, diikuti oleh seorang anak perempuan yang juga kabur dari kerusuhan antar etnis Muslim-Hindu itu mulanya bersyukur karena dibina Maman. Sampai pada suatu malam Salim melihat sendiri teman-temannya digilir di sebuah kegiatan yang disebut 'malam audisi'. Untuk menambah 'nilai jual' mereka, bagi anak-anak yang cukup 'berpotensi', sindikat itu melukai mata, memincangkan kaki, atau membuat anak-anak itu cacat permanen agar sasaran mereka bersimpati dan memberi uang lebih.

Maka, kaburlah abang-adik itu. Jamal berusaha mengajak Latika. Tapi ketika Latika berusaha menyusul mereka yang sudah di atas gerbong kereta, Salim tak menarik tangannya. Setelah itu Salim dan Jamal berkelana menjadi anak gerbong kereta, berjualan apa saja dan mencuri, sekadar untuk mnyambung hidup. Jamal sempat menjadi tur guide di Agra, sementara Salim memobilisir anak-anak lain untuk bekerja padanya. Sampai akhirnya mereka terdampar di suatu restoran di sebuah hotel. Salim yang berbakat menjadi preman dan ingin cepat mendapat uang, tidak betah di situ. Ketika mereka menemukan Latika sedang dipersiapkan menjadi 'santapan' om-om India di suatu distrik red-light, Salim menembak mati Maman dan membawa Latika ke gembong kejahatan lainnya, Javed. Ia menjadi antek Javed sementara Jamal pergi dan bekerja sebagai 'chai wallah' (anak penuang teh tarik) di sebuah kantor call center di Mumbay.

Bertahun-tahun kemudian Jamal berhasil melacak telpon Salim. Mereka bertemu lagi. Jamal yang cinta mati dengan Latika, menanyakan keberadaan belahan jiwanya itu. Latika rupanya dipelihara oleh bos gembong kejahatan tempat Salim bekerja. Jamal lalu mengajak Latika kabur dengan menemuinya di stasiun kereta esok harinya. Tapi naas, rencana mereka tercium Salim. Karena tahu Latika suka menonton kuis 'Who Wants to Be A Millionaire', Jamal berusaha menjadi peserta program tivi itu. Dia berhasil. Bahkan sampai di babak akhir yang menentukan... 







Sebenarnya film yang dipuja-puji kritikus film di seantero jagad ini diawali dari adegan Jamal yang sedang berlaga di kuis yang sudah mendunia itu. Teknik Danny Boyle 'mengocok' alur, bolak-balik dari masa kini ke masa lalu, tersulam dengan cantik melalui jawaban-jawaban Jamal yang didapat dari pengalaman-pengalaman kelamnya sebagai 'slumdog' (gembel). Jamal yang buta huruf dan hanya pernah memegang sebuah buku dongeng tentang 'the 'three musketeers' bisa mengetahui nama presiden Amerika yang wajahnya tertera di lembar seratus dollar yang ia dapat ketika menjadi tour guide di Taj Mahal, tip dari seorang turis Amerika. 6 tahun kemudian dia bertemu lagi dengan salah satu anak jalanan yang dibuat buta, lalu si buta itu mencium uang itu dan menanyakan wajah orang yg ada di uang tersebut. Setelah disebutkan deskripsinya, si buta menyebut 'Benjamin Franklin'. Itulah jawaban bernilai jutaan rupees di kuis WWTM versi India yg dipandu Anil Kapoor...

Film ini berhasil membangun visual slummy kehidupan perkotaan di India, yang konon super-kumuh dan penuh konflik, menjadi sangat nyata dan alamiah. Budaya mereka yang suka menipu turis, penyuka sinema Bollywood, tradisionalis, bangga akan Bajaj dan supernaturalis ditampilkan dengan apik, meskipun jadinya nggilani (kalau tidak miris). Konon Simon Beaufoy (penulis skenarionya) melakukan riset dengan mewawancara 3 anak jalanan dan mengaku sangat tersentuh dengan cerita mereka yang lucu, penuh petualangan, ironis, dan seringnya (terutama bagi mereka yang berasal dari negara yang sudah mapan) 'menakutkan'.

Menurut saya, film ini pantas meraih Oscar. Nilai-nilai universal tentang persahabatan, perjuangan, cinta, dan faith dikemas dengan tidak menggurui. Tidak ada jeda untuk bosan atau merasa nista. Satu hal lainnya yang saya hargai dari film yang berhasil merangkum genre suspence, komedi, romance, slasher dan action dalam satu paket ini, yakni ending-nya. Tetap, para pemainnya unjuk-gigi menari ala film Bollywood! India, India...

Sunday, January 30, 2011

[archieve] Apa benar badai pasti akan berlalu?

through all the problems and barriers, humankinds carry on their virtuous civilization to the end of time..




01
suatu malam seorang gadis pergi menembus berjuta rintangan untuk menemui belahan jiwanya. sudah lama ia menantikan momen ini. gadis itu menderita sesak karena rindu, mengkhayalkan kebahagian bila kekasih hatinya hadir di setiap gerak-hidupnya, dan sering terlelap dalam mimpi-mimpi indah bersamanya. belasan tahun berlalu. setelah rute panjang dan penuh halangan terlalui, kini karpet merah yang anggun terbentang di hadapannya. di ujungnya, sang tambatan jiwa menunggu sambil membuka kedua tangannya. tapi gadis itu tak melangkah maju. ia terdiam mematung. ia memandang sosok di hadapannya dan berharap dirinya-lah yg menghampirinya..

02
lelaki bertubuh hitam kemilau karena peluh itu mengangkut karung-karung berat berisi umbi-umbian dari sebuah truk sayur-mayur. hari ini ia ingin menyelesaikan pekerjaannya seorang diri, biar hasilnya ia saja yg menerima. sudah ditetapkan hati untuk menguras semua tenaga dan kemampuan ototnya. semua demi memperbaiki rumah gubuknya yang nyaris roboh termakan keganasan alam. tapi ia tahu usahanya akan sia-sia. tubuhnya kian lemah karena gizi yang buruk. terlalu banyak penghematan yang ia buat sehingga makan pun tak lagi terasa nikmat. dan gubuk itu pada akhirnya akan terhempas mencium landasan. namun lelaki itu terus mengangkut karung-karung berat berisi umbi-umbian tanpa hirau akan rasa ngilu di sekujur tubuhnya.

03
sepasang sahabat berlainan jenis sedang menghabiskan waktu bersama. mereka berbincang, bersenda-gurau, mengenang masa lalu yang indah. tiba-tiba ada hasrat lain yang singgah di relung jiwa yang terdalam. keduanya terkesiap, saling berpandang, menanti letupan kecil yang pasti mampu memicu leburnya pertahanan. mereka sesungguhnya sudah tak kuasa menahan lagi. tapi tak ada yg terjadi. mereka hanya terus saling memandang hingga sang surya hilang di ufuk yang berubah jingga.

04
seorang istri menatap nanar suaminya yang lagi-lagi tak mampu membuatnya bahagia. lelaki di hadapannya menutup wajah dengan kedua telapak tangan, dadanya bergetar, ada isakan suara tangis. ia berusaha menenangkan, mencabut kata-kata perpisahan yang sempat tak sengaja terlontar dari mulut laparnya. tapi tak lama ia menarik diri, kembali menatap nanar suaminya yang kini bergelung bak jabang bayi di ranjang yang ditutupi helai kain berhias benang emas. ia tak tahu apakah kesempurnaan hidup semata-mata hanya dapat terpenuhi oleh hal yang satu itu?



Tetapi jika kamu tergelincir setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepadamu, ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. [02:209]








Sonata di stasiun kereta [teaser part 01]

Sudah lama Soni menunggu di bangku Stasiun Kota, hampir genap dua jam. Tidak biasanya dia bisa bertahan selama itu. Sungguh sebuah dorongan moral yang kuat yang meneguhkan dirinya untuk menanti dalam ketidakpastian. Ini gila, serunya dalam hati. Mana mungkin perempuan itu memegang janjinya? Kita baru bertemu sebentar, belum banyak hal yang dia ketahui darinya. Mengapa aku bisa sebodoh ini, makinya. Kepalanya tertunduk dalam-dalam.

“Kepada para calon penumpang kereta ekspres jurusan Bogor, diharap menunggu di jalur empat.”

Itu sudah kali ketiga kereta yang harusnya dia tumpangi melintas dan menertawai kekukuhannya. Ada apa bung? Engkau pikir di zaman ini masih ada romantisme picisan macam novel-novel angkatan pujangga baru; yang memberi selembar sapu tangan (bukan terbuat dari sutra pula!) untuk mengikat janji? Aku pasti sudah usang dan kelu terhadap dunia yang selalu ku anggap munafik dan penuh tipu-daya sehingga bisa dengan mudahnya aku mempercayai kenaifan dan ketulusan yang terpancar dari sepasang mata itu. Soni merutuk sendiri.

Tapi, dia lantas terpesona pada ingatannya.

Mata itu. Aku belum pernah melihat kelembutan dan kepasrahan yang sebegitu jelasnya. Sinarnya. Ya, sinar matanya laksana lentera yang mencerahkan. Tiba-tiba kekuatan yang sempat memapar jiwanya menebal lagi. Teringat dia pada pancaran sepasang mata yang, --wah, sebenarnya tidak ada yang begitu istimewa dari mata itu, sungguh. Malah agak kuyu. Ya, begitulah. Tapi pandangannya cerdas, lembut, menenangkan. Sepertinya si pemilik sudah seringkali menjadi saksi atas bermacam tragedi sehingga tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan dalam hidupnya.

“Gila!” seru Soni lagi sambil menepis peluh yang mengalir perlahan dari dahinya. Dia tersenyum saja melihat jarum jam tangannya bergeser pelan, mengarah ke pukul 8. “Seharusnya aku sudah di rumah!”



***



Awal ceritanya bermula ketika Soni berangkat ke kantor seperti biasanya dari Stasiun Bogor. Senin, sekitar pukul 7, jelas Soni sudah tertinggal kereta ekspres yang hari itu berangkat tepat waktu di pukul 6.40. Karena kereta selanjutnya baru muncul pukul 7.40, maka dia serta-merta menaiki kereta ekonomi pukul 7.15. Soni paham konsekuensi menumpang kereta non-ekspres; selain tidak nyaman, kereta ini patuh berhenti di setiap stasiun. Mulai dari Cilebut, Citayam, Depok, sampai stasiun-stasiun kecil seperti UI atau Cawang. Dan pemberhentiannya adalah di Stasiun Gambir, kereta ekonomi tidak diperkenankan berhenti di sana. Soni sudah mengantisipasi dengan turun di Stasiun Juanda, lantas naik ojek ke kantornya yang terletak di bilangan Thamrin. Terbayang dirinya akan mengalami hari yang panjang saat itu. Tapi, Soni tidak menyesalinya…

Setelah bergerak lamat-lamat meninggalkan Stasiun Kalibata, sekelompok orang masuk mendorong penumpang-penumpang lain yang sudah bergelantungan sejak dari Stasiun Lenteng Agung. Sesaat dia tak memperhatikan suasana di sekelilingnya dan terus mendengarkan musik yang dialunkan dari iPod-nya, namun dalam sejurus Soni mendongakkan kepala ke arah perempuan yang kini berdiri di hadapannya. Perempuan itu sedang memandang kosong ke arah pemandangan di luar jendela di depannya, sambil satu tangannya mencengkram tuas kereta dan tangan lainnya memegang sebuah tas kulit coklat. Dari pakaiannya Soni menebak dia pasti bukan orang kantoran, karena meskipun memakai atasan blus formal tetapi dipadu bawahan jins yang sudah pudar warnanya. Perempuan ini tampak tidak memakai riasan yang tipikal karyawati, ya begitulah. Hanya bedak dan, oh dia tidak memakai pewarna bibir pula. Sepatunya pun model kasual, solnya karet dan rata saja. Entah pekerja di pusat perbelanjaan, agen asuransi, atau mungkin mahasiswi sebuah perguruan tinggi.

Ketika sedang asyik memperhatikan, tiba-tiba mata Soni bersirobok dengan perempuan itu. Itulah kali pertama dia tersambar eforia yang tak dimengertinya. Tidak diduga pandangan dari perempuan itu sama sekali tidak mengintimidasinya, tidak seperti pengalaman-pengalaman lain ketika dia usil tertangkap basah sedang memperhatikan seseorang. Justru Soni merasa disapa dengan ramah dan ada aliran gelombang persahabatan yang secara elektris disalurkan dari sinar mata itu. Alih-alih mengalihkan pandangan, Soni tersenyum dan tanpa sadar mengucap “halo,” yang kemudian dibalas dengan sopan oleh perempuan itu. Dia lalu memalingkan pandangannya kembali ke pemandangan di luar sana.

Soni menunduk. Mengapa dia ingin sekali melanjutkan pembicaraan? Apa kira-kira topik yang dapat menarik minat perempuan ini?








Wednesday, January 26, 2011

Kisah Saraswati & Bima: Pertemuan [teaser 3]

(the agony ends here)



“Saras!”

Rasanya jantungku berhenti berdegup. Di musim dingin yang berkepanjangan ini suasana hatiku tidak karuan, selalu emosional. Mungkin pengaruh kedinginan, atau kebosanan akut akibat empasan badai-badai salju yang jadi menahanku berdiam di apartemen. Kedinginan yang tak hanya jasmani, juga rohani. Hans, suamiku, pun tak mampu menghangatkan jiwaku. Karena sejak aku menerima lamarannya sepuluh tahun lalu, aku sadar aku akan hidup dalam kebohongan. Dia hanya pelarianku. Pelarian dari sosok lelaki di hadapanku kini. Lelaki yang sekarang wajahnya terlihat lebih tirus, kulitnya lebih gelap, rambutnya lebih berantakan. Sebentuk tas ransel tua hinggap di punggungnya. Punggung itu, aku ingat dulu pernah merengkuhnya. Dulu sekali. Aku tak pasti, mungkin 12 tahun yang lalu. Ya, 12 tahun yang lalu.




“Aku mau bilang sesuatu.”

Tangan lelaki itu menggapaiku. Ada aliran elektrik menjangkiti kulitku yang tersentuh kulit tangannya. Ya Tuhan, aku benar-benar membeku! Tapi darahku mengalir deras, tubuhku kepanasan. Dan, oh apa ini yang membuat dadaku tiba-tiba berdebar keras? Kedua kaki ini, mengapa lemas sekali? Telapak tanganku pun mulai melembab, rasanya aku tak akan lama bertahan dalam kesadaran..





“Saras, aku.. aku..”

Aku tak tahan lagi. Mengapa harus ada penjelasan, mengapa? Tak perlu ada kata-kata, aku bahkan tak butuh apa-apa lagi. Toh jiwaku sudah hancur berantakan dihantam pukulan gulir masa dan kenangan yang kejam menertawai pertahanan lemahku. Bagai seuntai bulu aku tertiup hasratku sendiri, laju menuju pelukan lelaki itu. Dan pertemuan dua fisik ini seperti yang seharusnya; seperti kayu yang tersambar api dan mereka menyatu, dan tak mungkin terpisahkan lagi. Dan aku merasa waktu berhenti berjalan. Damai. Tiada beban keduniawian yang melelahkan. Tiada suara-suara rengekan ketiga anakku, suara dramatis penyiar televisi yang menyebar kekalutan dari setiap tragedi, suara alarm pagi yang memecahkan syaraf otakku, suara mesin kopi dan microwave laknat yang menghilangkan kenikmatan makan. Tiada apa-apa lagi. Hidupku sudah tercukupi sekarang. Aku siap mati, Sang Pencipta!





“Saras?”





“Sshh.. Bima, tak perlu. Peluk aku saja.”









Den Haag, South Holland. Mid of November 2010

Tuesday, January 25, 2011

Do you love me? [Rumi]

A lover asked his beloved,
Do you love yourself more
than you love me?

The beloved replied,
I have died to myself
and I live for you.

I’ve disappeared from myself
and my attributes.
I am present only for you. 


I have forgotten all my learning,
but from knowing you
I have become a scholar.

I have lost all my strength,
but from your power
I am able.



If I love myself
I love you.


If I love you
I love myself.








"Rumah Dara" (a.k.a Macabre, a.k.a Darah) = A Slaughter House Story

13 Nov 2009. Jumat malam. Kliwon. Hujan lebat, petir bersahut-sahutan. Pukul 9 malam. Saya dan dua teman lainnya ikut mengantre di barisan orang yang rata-rata berbaju hitam. Pintu Auditorium pun dibuka. Berbondong-bondong manusia masuk, wajah mereka mulai berubah pucat. Aliran rasa kecut di dalam hati. "Nekaaad!" lirih teman saya yang sadar dirinya terjebak ikut masuk. Akankah dia sanggup menyaksikan adegan-adegan penyiksaan bersimbah darah selama 95 menit nanti? "Bo, gue duduk di deret pinggir ya biar bisa keluar duluan?" pesan teman saya di penghujung lorong masuk.. 



Akhirnya, proyek film pendek "Dara" besutan duo sutradara 'Mo Brothers' (Kimo & Timo) jadi juga versi panjangnya. Kalau setahun lalu saya 30 menit terpana dengan suguhan kisah si misterius chef Dara yang ahli membuat steak lezat berbahan daging manusia (mengingatkan pada salah satu kisah rekaannya Alfred Hitchcock, lupa judulnya), Jumat lalu saya dibuat 'menganga' dengan suguhan pembantaian manusia yang tak habis adegan muncrat darahnya.

Secara cerita, versi panjang kali ini sudah jauh berbeda. Versi pendek dulu boleh saya bilang alirannya suspence, nggak gore amat. Ada kisah misteri yang cenderung seksi, dan adegan gorok-gorokannya masih 'cepat & bersih'. Si Dara (Danish Shareefa) juga tampil elegan, nggak banyak bicara (tapi banyak membantai, hahaha), dan gerakannya efisien. Film berdurasi 30 menit itu menjadi paket tontonan yang pas, baik dari segi cerita maupun teknik presentasi visualnya (baca: nggak lebay).

Nah, versi panjangnya memang lebay pol. Selain ceritanya banyak menyimpan PR (terutama karakter keluarga bu Dara & motif-motif pembantaian yang mereka lakukan), leleran darah manusia juga nggak habis-habis mengalir di sepanjang 3/4 film.Totally freaking gruesome! Semua jenis trik kekerasan ada di film ini; kepala copot dipotong gergaji mesin, nadi diiris pisau belati, tombak menghunus perut, tusuk kondek menancap di leher, dll. Banjir darah, deh! Definitely NOT recommended for those who failed medical schools of their phobia of blood..

Tapi ada beberapa hal yang saya apresiasi dr film ini: teknik kekerasannya cakep, seperti nyata. Saya suka dengan akting Arifin Putra yang ekspresif dan seperti sungguh-sungguh 'menghajar' korban-korbannya. Bahkan saat dia mau menghabisi Julie Estelle, nggak ada excuse korbannya itu perempuan. Equal, smuanya harus mati. Kalau aktingnya Danish, menurut saya sih lebih asik di versi pendeknya. Namun bagi yang baru lihat karakter dia di versi panjang, pasti merasa dia cocok memainkan peran itu (secara wajahnya Danish kan unik gitu). Untuk perannya kali ini, Danish diganjar penghargaan best actress di Puchon Fantastic Film Fest. Filmnya sendiri dipuja-puji penggemar genre gore/slasher di seluruh penjuru dunia (Rumah Dara udah keliling di festival-festival film fantasi). Saat ini, dengan judul "Darah", film debutan Mo Brothers ini lagi bikin heboh penggemar film di Singapura. Congrats!

Menurut info dari duo sutradara yang memberi speech di opening INAFFF 2009 lalu, film ini akan tayang di bioskop-bioskop Indonesia mulai Januari 2010. Saya nggak yakin film ini akan utuh. LSF bakal memotong abis adegan-adegan sadistisnya. Para fans film gore/slasher yang sempat ke INAFFF 2009 sangat beruntung. 



My invitation and special edition of a film magazine.


The movie was screening in a fictions and fantassy films festival in United State.

Releasing [my poem]

harusnya kita bertemu.
tapi rasa takut mengalahkan keinginanmu.
entah apa, kamu diam seribu bahasa.
mungkin takut semuanya akan berjalan sesuai harapan.
kadang yang didamba lebih baik tidak menjadi kenyataan 'kan?

lalu aku bagaimana?
aku harusnya sedih, marah, kecewa.
aku sedih, marah, kecewa.
tapi apa gunanya?
aku sudah lelah.

hidup telah begitu baik & penuh pengertian.
apakah aku harus merusaknya?
insiden ini sekadar bumbu penambah nikmatnya kenangan.
aku akan tersenyum saja ketika mengingatnya.
meski ada saat aku akan menangis juga.

tapi, kini aku sudah memaafkanmu.
tak ada lagi ragu & pagu.
yang lalu biar berlalu.
waktu yang akan membantu.



seperti katamu dulu.








Monday, January 24, 2011

Lovely bones: A beautiful in-between story

My name was Salmon, like the fish; first name, Susie. I was fourteen when I was murdered on December 6, 1973.



kalimat di atas adalah kata-kata pembuka film yang diadaptasi dari novel karya Alice Sebold, "Lovely Bones." film ini pas banget dipercayakan ke Peter Jackson. sutradara trilogi Lod of The Ring ini berhasil membuat visualisasi sebuah cerita muram nan melankolis (dan penuh konflik) menjadi suatu tontonan yang "menggugah dan indah."



Salah satu poster filmnya, keren!


saya baru baca novelnya setelah menonton film ini. dan luar biasanya, saya memilih filmnya sebagai yang lebih "menarik" dibandingkan dengan novelnya (yang sebenarnya enggak kalah menarik). situasinya: mood saya memang sedang agak drop, kerjaan tak ada ampun banyaknya, cuaca sedang banyak hujan. novelnya yg muram, konfliktif, penuh kata makian, dan rada absurd (terutama tentang penggambaran 'surga' oleh almarhumah Susie) jadi kurang sedap aja. apalagi sebelumnya saya habis baca "Angus, Thongs and Full-Frontal Snogging"-nya Louise Rennison, yang lucunya gila banget. ya gitu deh, abis nonton film ini jadi teringat kondisi yang lagi drop...


Beberapa captures filmnya. Perhatikan warna-warna vintage yang lembut ala 70-an tapi terlihat kontras.


di dalam novel digambarkan dengan kata-kata Susie bagaimana si pembunuh serial gadis-gadis muda, George Harvey, dengan kejam menghabisi korban-korbannya. ada juga flashback masa kecil Harvey yang traumatis, sebagai latar belakang perbuatan biadabnya. narator cerita ini, Susie, seakan-akan bicara kepada pembaca dari surga sana. tetap dengan sifat humanis, Susie akhirnya menerima dan memaafkan tindakan Harvey yang sakit jiwa ini. konflik-konflik lain yang bergantian muncul setelah Susie menghilang sepulang sekolah dan akhirnya dinyatakan tewas; tentang perjuangan ayah Susie, Jack Salmon, mencari bukti-bukti kekejaman Harvey; tentang perselingkuhan Abigail Salmon (ibunya Susie) dengan Fenerman (detektif polisi yang mencari Susie); tentang naik-turun kehidupan saudara-saudaranya Susie (Lindsay dan Buckle); dan tentang korban-korban Harvey lainnya. padat banget deh, rada capek juga bacanya. 


Mr the one and only: Peter Jackson.


tapi di filmnya, Peter Jackson mengubah fokus penonton sepenuhnya ke 'surganya Susie.' gambaran tentang surga yang cuantik, diperkuat dengan animasi ala LOTR yang halus dan memang cantik. warna-warnanya bikin mata adem (meski hati tetep kebat-kebit karena sedih). kekerasan dan konflik-konflik yang terlalu 'melebar' diapus sama dia. affair ibunya Susie sama detektif polisi di-skip. adegan Susie ML (Makan Lemper, eh Make Love) sama gebetannya, Ray Singh, diganti jadi ciuman aja. lebih mengagetkan lagi, insiden Harvey kejatuhan icicles--yang menurut novelnya memang diniatkan oleh Susie--dibuat seakan-akan 'alamiah.' pokoknya Peter Jackson tidak ingin penonton punya kesan film ini kasar, mortal, violence. semua dibuat indah dan baik. rupa-rupanya dia ingin mengimbangi konklusi almarhumah Susie yang sedang bercerita di surga sana, bahwa eventually segala sesuatu yang terjadi di dunia itu--baik atau buruk--pasti ada hikmahnya.


dan inilah kata-kata penutup Susie di dalam novel Lovely Bones:

These were the lovely bones that had grown around my absence: the connections — sometimes tenuous, sometimes made at great cost, but often magnificent — that happened after I was gone. And I began to see things in a way that let me hold the world without me in it. The events my death brought were merely the bones of a body that would become whole at some unpredictable time in the future. The price of what I came to see as this miraculous lifeless body had been my life. (p. 363) 


PS: saya sukaaa banget dengan suasana 70-an yang dibangun di film ini. wardrobe-nya keren, simbol-simbol jamannya pas, rambutnya Susan Sarandon keren banget! 



top lah, Peter Jackson!

Thursday, January 20, 2011

The Boy in Striped Pajamas: Kisah penghilangan nyawa yang cantik [archieve]

sudah baca novel John Boyne, "The Boy in Striped Pyjamas"? kalau sudah (atau pun belum), jangan ketinggalan nonton filmnya. judulnya sama, cuma beda huruf -y pada kata asli "pyjamas" yg diubah jadi "pajamas". film ini dirilis taun 2008 oleh BBC Films.

saya nontonnya di DVD bajakan (kalo ada yg murah, kenapa ngotot yang mahal? he-he). alhamdulillah dapat versi blu-ray yang kualitasnya di atas versi 9, jadi bagus-cemerlang-gemerlap-mewangi gitu. and, this film is visually a total masterpiece! meskipun sudah hampir pukul 2 dini hari, tetap segar melihat angle-angle cantik yang ditangkap kamera dan pengaturan warna dari setiap komponen visual yang ada di film ini. semua diperhitungakan dengan estetika yang dua-jempol. mulai dari komposisi latar interior rumah, pemandangan kota Berlin lama, pemandangan di luar pagar kamp konsentrasi, juga pakaian para casts yg vintage tapi warna-warni. suegerrr!





dari segi cerita, sudah tahu semua dong? frankly, menurut saya terlalu klise, kurang misteri yg menggigit. ending-nya gampang ditebak pula. konon John Boyne mengarang buku ini dalam waktu dua hari saja, mulai dari scratch awal sampe finishing akhir. cepat sekali. zip, boom, bang! done.

tapi filmnya? saya yakin dikerjakan dalam tempo yang lama dan persiapannya makan waktu. hasilnya, sangat memuaskan mata! durasinya memang cuma 94 menit tapi ditanggung mampu mengaduk emosi para penonton. apalagi ending filmnya. tanpa perlu penggambaran yang berlebihan, mata saya dibuat meleleh karena haru.

yang lucu dari film ini adalah dialek British/Scottish para pemainnya. padahal 'kan latarnya di Jerman. jadi rada aneh aja. lalu wajah Jack Scanlon yg memerankan si anak Jews, Shmuel, sangat tidak Jewish. wajahnya malah mengingatkan saya pada karakter Shaun di film "This is England".

ini film tragedi penghilangan nyawa massal yang visually cantik. buktiin aja sendiri.


Some noise inside my brain [archieve]



I'm learning to read His hidden agendas behind all these incidents (and sorrows); why should I feel tortured by the facts that me here in total consciousness, and others are not?

"Bet He loves me too much He wants to transform me into someone stronger than ever in a swift. Well that's tough alrite, though I'll move on.." 




I was born in a pond of questions, constantly asking almost anything from the beginning and so far got nothing to quench this endless thirst. And people started to mock on me, think me mad, build a high wall between us, separate me like I'm some kind of parasite. Obviously, my curiosity bothers them.

"I am me. You are you. I can't be you, you're impossible becoming me. So allow me to be whatever I am as I let you live as you are." 




I make friend with a cynical girl who thinks this world is a bitter place in all around. She speaks in a diff'rent language with me, do things in a diff'rent manner, take a diff'rent attitude. We're heaven and earth. Two different faces of a coin. 

So what? I love her!





www.adrants.com

Wednesday, January 19, 2011

Be (very) careful what you wish for! [archieve]

Teringat sebuah film horror, judulnya 'Wishmaster' (sekuelnya sampai Wishmaster 4). Ceritanya tentang seekor jin yang tidak sengaja dikeluarkan dari tempat tinggalnya--sebentuk batu permata merah--oleh seorang wanita. Jin itu lalu turun ke Bumi untuk menjalankan misi khusus. Dia mendatangi penjahat-penjahat atau orang yang punya pikiran dan niat jahat, lalu minta mereka bikin 'wish' ke dia. Habis itu dia dengan sadis (jin gitu loh, bisa bunuh manusia dengan segala gaya dong!) menghabisi orang-orang yang 'wish'-nya sudah dipenuhi dan mengambil roh/jiwa mereka. Nah, ketika koleksi rohnya mencapai jumlah tertentu konon kekuatan si jin ini mampu mengubah Bumi jadi neraka dan dia jadi penguasanya. Sebuah adegan penghabisan nyawa ala Wishmaster yg selalu saya ingat adalah ketika si WM (singkatan nama jin itu) masuk ke penjara. Lalu beraksilah dia di situ, menawarkan jasa memenuhi wish para in-mate alias napi. Salah satu korban minta agar dia 'dikeluarkan' dari jeruji penjara. Sesuai etika misinya, maka WM mnyebutkan MoU lisan bahwa ketika wish si napi dia granted, maka rohnya jadi milik WM. Si napi dengan pandangan nggak ngerti dan sok licik, iya aja. Daaan, sim-salabim! Tubuh si napi (dalam keadaan sadar) seketika seperti ada yang mengambil alih, lalu tubuh itu dipaksa 'lolos' dari jeruji besi. Tubuhnya pun patah-patah, berurai darah karena akhirnya 'keluar' dari deretan sempit jeruji penjara. Genre film ini disebut sebagai dark comedy horror. Debutnya disutradarai oleh Robert Kurtzman dan diproduseri Wes Craven. Sekuel pertamanya terbilang sukses dan meraih box office, meskipun kritikus membabat habis film ini dengan cacian dan hinaan.. 

Anyway, ada frasa menarik di poster film ini: 'be careful what you wish for'. Maknanya, setiap wish yang kita buat akan berbuah sejumlah konsekuensi yang harus kita hadapi, jadi jangan sembarangan bikin wish. Kalau kita refleksikan lagi pengalaman yang sudah lewat, pasti ada kejadian yang mungkin dulunya menjadi wish dan akhirnya terwujud. Tapi apakah lantas hidup saat itu makin mudah dan menyenangkan? Kebanyakan malah sebaliknya. Paling tidak kalau wish itu terlalu muluk dan jauh dr kondisi awal kita saat itu. 

Saya pernah wishing menjadi seorang peneliti; bidang pekerjaan yang terdengar 'keren', meliputi tahapan yang disiplin dan asik dijalankan. Dan tentunya membanggakan keluarga. Wish itu di-granted Tuhan loh! Saya jatuh-tidak bangun selama setahun menjalankan tugas. Setelah itu saya tidak pernah bikin wish aneh-aneh ketika berurusan dengan pekerjaan. Wish saya cuma satu: saya bisa tetap menulis dan dekat-dekat dengan buku. Alhamdulillah, sekali lagi wish saya di-granted! 

Kejadian setali-dua uang juga dialami teman baik saya. Bertahun-tahun dia menggeluti dunia freelance dan tidak pernah terikat di satu institusi. Hidupnya bak roller-coaster karena order job yang flow-nya tidak terduga; kadang ramai, kadang ramai banget. Teman saya mulai jenuh. Ingin kehidupan tempo sedang yang teratur, begitu dalih dia. Maka dia bikin wish jadi proletar 9-5 seperti saya. Sim-salabim, GRANTED! Belum genap setahun, teman saya sudah komplen. Dia mulai menampakkan sindroma proletar mati gaya: datang siang, di kantor cuma main games, pulang hedonista. Kata dia, rindu dengan jam tidur berlebihan yang dulu sering dia lakoni. Tapi dia tentu tidak rindu dengan masa paceklik dan tongpes karena invoice yang belum juga dibayar klien.. 

Ada lagi cerita seorang teman yang lama jobless dan wish bisa jadi eksekutif di perusahaan asing. Granted dong. Konsekuensinya, dia mulai berubah jadi 'eksekutif' yang nggak bisa dibawa ke warung emperan atau tempat-tempat nongkrong reguler kami. Dia mulai kongkow di resto-resto dan cafe-cafe mahal, dengan memaksa kami ikut, atau pergi sendiri. Anehnya, pelitnya nggak berubah. Kini dia mulai kehilangan kami, teman-teman lamanya, satu per satu. Dimulai dari saya.. 

Apa pun, ada konsekuensinya. Bagi yang belum mencapai sesuatu hal yang didamba, memang tampak menggiurkan. Tapi waspadalah! Segala pencapaian dalam hidup itu rupanya equal dengan cobaan. Mau yang tampaknya "baik" atau "buruk", semuanya menuntut kita untuk berubah dan beradaptasi. Dan menderita. Dan tersadar bahwa awalnya kita ini hanya anak kecil yang selalu bikin wish agar segera dewasa, hanya karena kita pikir menjadi orang dewasa itu berarti hidup kita akan lebih bahagia. Begitu naifnya. Menurut saya hidup ini bukan pilihan; hidup itu suratan. Kita tinggal menjalani. Menerobos hambatan dan menembus cobaan, kita akan terus ditempa sampai 'lolos' dari jeruji kehidupan. 



Jadi, hati-hati dengan wish yg kita buat. 






Miscommunication [archieve]

01 
Dalam sebuah wawancara yang pernah saya lakukan.. 
Saya: Bagaimana kesan ibu terhadap kegiatan seperti ini? 
Ibu: Bagus loh mbak, edukatif tapi juga menghibur. Anak-anak dipacu kreativitasnya. 
Saya: Saran ibu untuk kegiatan selanjutnya? 
Ibu: Apa ya, sudah bagus mbak. Saran saya, dibuat lebih edukatif dan menghibur. Anak-anak dipacu kreativitasnya. 
Saya: Contohnya gimana bu? 
Ibu: Dibuat kegiatan seperti ini lah, yang edukatif dan menghibur anak-anak.. 


02 
Suatu hari di jadwal renang mingguan saya, teman yang jemput (yang biasanya jadi komentator cerita-cerita saya selama perjalanan ke kolam) tiba-tiba antusias jadi 'speaker of the day'. "Masih ingat si Anu? Dia kontak elu nggak?" buka dia. "Nggak. Kenapa?" jawab saya. "Iya, dia tiba-tiba telpon setelah lama nggak nggak ada kabar. Dan, maksa minta ketemuan. Tadi siang akhirnya kita maksi di Panco***," teman saya semangat menjelaskan. "Gue tadinya curiga, kenapa anak itu kontak gue lagi, dan dapat nomer dari mana? Rupanya dia diberitahu si Itu." Saya jadi penasaran, "Trus?" "Kita ketemu jam 1-an, dia sudah di TKP duluan. Pas gue intip dari luar, dia berdua temannya," lanjut teman saya. "Wah, perasaan gue langsung nggak enak!" seru dia. "Bisa nebak nggak urusannya?" Saya mikir sebentar, "MLM?" Wajah dia berubah, "Yak, betul! Gue nggak masalah sih dg MLM. Tapi Cip, bisa tebak lagi nggak apa produknya?" Saya langsung terbayang label AM*** di benak, "Am***?" "Mending itu. Ini PEMBALUT (wanita)! Bisa elu bayangin nggak, mereka demonstrasiin produknya di atas meja Hok***! Gue sampe bingung harus bagaimana," cerocos teman saya. Wah, dua cewek mendemonstrasikan produk pembalut ke cowok? "Pake segala disiram air seperti iklan-iklan pembalut gitu!" tambahnya. "Kenapa si Anu pilih elu untuk diprospek ya? Apa karena elu kerja di perusahaan jasa boga? Emang ada hubungan antara tukang masak sama pembalut?" tanya saya. "Itu yang gue bingung. Habis itu gue tanyain teman-teman perempuan di kantor, gimana kalo mereka ditawari produk semacam itu. Karena harganya hampir 4 kali lipat pembalut umumnya, mereka nggak ada yang mau tuh. Meskipun ada manfaat kesehatannya," jawab dia. Hm, entah dikejar target cari down-line, atau melihat prospek pengaruh laki-laki yang bisa memberi kontribusi pembelian PEMBALUT WANITA. Tapi, kok kayaknya ada yang nggak nyambung? Saking heboh kejadian itu buat dia, teman saya tak habis-habis membahas pngalamannya dari sore sampai malam.. 




03 
Tukang pecel lele: Pesan minumnya apa? 
Teman saya:          Es jeruk, bang. 
Tukang pecel lele: Wah, jeruknya abis mas! 
                                Ganti apa? 
Teman saya:          Ogitu. Ya udah, jeruk anget deh. 




04 
"Halo adik-adik! Apa kabar? Kok nggak semangat sih? Udah pada makan beluuum? Udah 'kan? Kalo udah makan harus semangat! Semangatnya mana? Semangat dong kayak kakak gini... Coba kakak panggil lagi, ya? Halo adik-adik! Aaah, payah deh! Kok masih lemes? Katanya udah makan. Udah semua ya? Kakak yg belum nih.." 




05 
Suatu ketika di sebuah kereta Argo Bromo jurusan luar kota, jauhhh dr Jakarta... 
"Kenapa sih gue di-treat seistimewa ini?" kata si cewek. 
"Ya nggak apa-apa, syukuran aja. 'Kan gue udah janji kalau dapat bonus bakal ajak jalan-jalan. Kapan lagi? Gue tahun depan udah pindah kerja," jelas si cowok. 
"Tapi kenapa si Gun mendadak batal ikut? Trus kenapa teman-teman lain nggak diajak?" brondong si cewek. 
"Gun udah berangkat kemarin bareng bapak. Anak-anak nggak ada yang mau ikut," si cowok ngomong. 
"Gue nggak enak nih, nanti ada gosip aneh-aneh di kantor. Udah capek nangkisnya!" jawab si cewek. 
"Samakkk! Kita berteman baik tapi digosipin aneh-aneh. Anak-anak emang jail. Maklum nggak ada kerjaan," imbuh si cowok. 
"Gue sih nggak pernah anggap serius gosip itu. Gue udah menganggap elu seperti kakak. Sama seperti dengan mas Ben dan Woody. Nggak lebih," tambah si cewek. 
"Tapi anak-anak memang heboh banget menjodohkan kita ya? Emm, kalo ternyata gue punya perasaan lain ke elu, gimana?" lanjut si cowok. 
"Enggak ah! Gue nggak mau ngrusak persahabatan kita," tangkis si cewek. 
"Oh gitu. Iya, gue juga nggak mau tuh ngrusak persahabatan. Dasar anak-anak aja pada kompor bleduk ya?" kata si cowok. 
"Tau sendiri mereka iseng banget.Jangan dianggap serius, ngabisin energi!. Gue nggak punya perasaan apa-apa sama elu, mas Ben dan Woody. Murni teman," jawab si cewek. 
"Oke," cowok lagi. 
"Ngomong-ngomong, kenapa elu minta gue bawa baju kondangan? Ada acara apa dulu nih?" tanya si cewek. 
"Oh, itu. Nikahan kakak gue," jawab si cowok. 
"Ha?" si cewek mau pingsan. 




06 
Dalam sebuah ceramah Jumat di masjid pedusunan.. 
"Sesungguhnya perlombaan tujuhbelasan itu HARAM hukumnya! Mengapa? Karena menyiksa umat. Coba bapak-bapak perhatikan bagaimana saudara-saudara kita dibuat menderita, harus naik di sebatang kayu yang licin untuk sekadar memperebutkan barang-barang yang tak seberapa. Apa itu tidak penyiksaan namanya? Kalau memang mau bersadakah, memberi hadiah kepada saudara-saudara kita yang sedang kesusahan atau kekurangan, kenapa tidak diberi langsung saja? Tidak perlu ada penyiksaan seperti dalam perlombaan tujuhbelasan!" 

Coraline: Curiosity kills the cat (and the cat kills the evil!)

Posternya keren banget!
bagi penggemar film horror dan fantasi, "Coraline" adalah salah satu film animasi gothic yang patut ditonton. film super-keren ini cucok banget untuk penonton yang punya any sense of gleefully gruesome childish wonder left; jenis yang antusias dengan dongeng-dongeng Brother Grim's, dan tentu saja animasi gothic ala Tim Burton.


film ini punya banyak poin unggul buat saya: disutradarai oleh Henry Selick of "The Nightmare Before Christmas" (poin nomer satu), diadaptasi dari novel horror jempolannya Neil Gaiman (poin nomer dua), dan dieksekusi dengan animasi stop-motion (poin nomer tiga). jenis animasi ini--sebagai bentuk animasi photorealistic--buat saya lebih menarik secara visual dibandingkan bentuk-bentuk animasi digital. ada nilai estetis yang lebih memuaskan untuk dinikmati oleh indra penglihatan.


untuk Anda penggemar animasi digital buatan Disney dan Dreamworks, dan seringkali berakhir menonton ulang film-filmnya (apalagi yang suka terbawa alur cerita atau tak kuasa menahan linangan air mata saat Wall-E terpisah dari Eve), sepertinya ini bukan animasi untuk Anda. dengan setting yang mostly gelap, kotor, creepy, film ini baik sekali dijadikan semacam 'appetizer' utk sebuah festival film horror dan fantasi. simbol-simbol seram dan hantuisme sudah 'berserakan' di awal cerita. ada boneka voodoo, kucing hitam, lubang sumur misterius, puri tua, dan topeng ala pembunuh di My Bloody Valentine. kuping, tengkuk, pantat dan jempol kaki Anda pasti mulai menegang di 10 menit pertama film diputar. garansi!


secara cerita, film ini masuk kategori untuk anak-anak. pesan moralnya terlalu jelas; tentang bagaimana kita (anak-anak) harus mensyukuri keberadaan ortu, however they might be. karakter utama film ini, si Coraline (suaranya diisi oleh Dakota Fanning), bersama kedua ortunya yang penulis baru pindah ke sebuah puri tua di pedusunan. Coraline menganggap kedua ortunya jauh dari ideal. ibunya terlalu mengatur dan suka tidak memenuhi keinginan Coraline, sementara bapaknya tipe suami-suami takut istri. lengkaplah penderitaan si rambut kebiruan itu karena di hari-hari awal kepindahan, dia asli dicuekin kedua ortunya yang sedang ngejar detlain sebuah gardening catalogue. Coraline yang pemberani dan lagi iseng ini tiba-tiba terbawa ke sebuah ptualangan ajaib lewat sebuah pintu terlarang. mirip-mirip kisah Alice in Wonderland gitu. but this time, in Gothic's style. so kewl! dan alih-alih pakai klenci bloon ato jangkrik culun ala jimmy jangkrik, dipakailah makhluk Tuhan yg paling unik dan misterius sedunia: kucing. gembiraaa banget pas lihat sebuah adegan dimana si kucing hitam menangkap seekor tikus got ngehe, trus dinyam-nyam gitu. hail to the ball of fur! kalianlah binatang sejati pembela kebenaran.. BWAHAHAHA!


kalau dari segi teknis, SUPEEERB! sambil nonton, saya ikut membayangkan ribetnya bikin film ini. animasi photorealistic itu tiap gerakannya dibuat manual. boneka-boneka dari clay atau kertas digerakin tangan lalu dipotret frame per frame, kerjaan orang gila! banyak adegan yang asli nggak kebayang gimana ngerjainnya. seperti waktu Coraline berhasil mengumpulkan 3 mata hantu, lalu tiba-tiba sekelilingnya berubah menjadi abu-abu dan ambrol-ambrolan. trus ketika dia 'dilempar' masuk ke kaca, dipenjara. mungkin ada gabungan efek digital juga. dan hasilnya, cuakep! puas saya nontonnya.

Produksi stop-motion animation; edan banget prosesnya.

Gabungan teknik animasi digital juga nih. Keren kan?

Pas adegan Coraline masuk ke dunia imajinasinya, permainan cahaya dibuat
seperti ini. Realistik banget, dan pasti rumit.

A-must watch item!


Kisah Saraswati & Bima: Surat perpisahan Saraswati [teaser 2]

to: Bima 
fr: Saraswati 

ketika kamu membuka surat ini, aku sudah pergi jauh. aku memutuskan untuk mengambil beasiswa ke Negeri Kincir Angin itu, seperti saranmu. aku harap ini dapat kulakukan dengan baik karena sesungguhnya aku tak mau pergi. aku tak yakin aku bisa menjalaninya. 

bukan, bukan aku meragukan kemampuan akademisku. seperti yg sering ku ungkapkan, rancang bangun sudah menjadi motor yang menggerakkan jiwaku. aku akan mati tanpa menggali pengetahuan teknik sipil & arsitektur. kamu tau kan bagaimana kelakuanku saat kita menyusuri bangunan-bangunan tua yang indah di Jakarta Kota, Singapura, dan London? aku trance! aku bisa hidup di saat itu saja, kamu tau? rasanya aku sudah pulang ke rumah, aku tak perlu kemana-mana lagi.. 

tapi Bima, belakangan gairahku tidak semata untuk bangunan. jiwaku memang haus akan pengetahuan seputar teknik sipil & arsitektur. tapi ragaku butuh yang lain; dia mendambakan kamu. kamu! aku bisa membayangkan ekspresi wajahmu yg siap-siap terbahak. tertawalah, Bima! namun ini bukan bahan candaan yang biasa aku buat. ini dari dalam hatiku, yang terdalam. 

ya Tuhan, aku ngomong apa sih? aku juga bingung, Bima. aku selalu bertanya, mengapa lelaki semenarik kamu bisa berjam-jam menghabiskan waktu dengan perempuan seperti aku? tahukah kamu bahwa keberadaanmu di dekatku merupakan siksaan terberat hidup ini? aku tersiksa! kamu mau tau kenapa? karena seluruh tubuhku, mulai dari ujung rambut sampai ujung kuku kaki ini, sangat ingin merengkuhmu! 

aku mulai merasakan getaran-getaran aneh itu saat kita membahas desain interior museum seni new york di pojok perpustakaan nasional sore itu. kamu masih ingat? saat kamu tak sengaja menyentuh tanganku ketika ingin menunjukkan halaman 234? aku seperti kena setrum saat itu. aneh. aku tak tau itu apa, tapi aku tau aku harus menjauh darimu. tapi mengapa saat kita di warung roti bakar dua malam selanjutnya, kamu malah menangkup wajahku? aku tidak bisa kamu sentuh, mengerti? malamnya tubuhku meraung, meronta, menjerit, meminta sentuhanmu lagi! 

aku bersyukur setelah itu kamu sibuk dan banyak pekerjaan. telpon-telponku pun jarang kamu angkat. terima kasih, Bima. aku tau aku bodoh dan sakit, tapi aku mendapat pelajaran yang tersirat. aku lalu memaksakan diri untuk bergaul kembali dengan Ita, Rintha, Dewi dan Sanggar. perempuan-perempuan itu pembicaraannya tak aku mengerti! tentang sepatu, baju, salon, pria-pria pesolek yang lemah, orang-orang kaya yang tak tahan terkena pancaran sinar mentari dan terlalu mengagungkan nilai materi.. 

jadi, aku terima saja beasiswa itu. aku sudah tak tahan lagi dalam jerat ini. pagi tadi aku sudah terbang ke seberang sana. aku tak sanggup berpamitan denganmu, maafkan aku. aku tidak bisa lama-lama dekat denganmu. aku tau pertahananku akan luluh saat melihat wajahmu, menjabat tanganmu, memeluk tubuhmu... 

semoga kamu mengerti tindakanku selama ini. aku tau kamu tak mungkin balik mendamba aku. aku semata teman diskusimu tentang rancang bangun 'kan? seperti katamu selama ini. aku merasa tak pantas berdampingan denganmu. teruskanlah hubunganmu dengan Alice, atau Karin. mereka perempuan-perempuan yang sempurna untukmu. aku mendoakan semoga salah satu dari mereka akan menjadi pilihan hatimu. 

aku lega bisa jujur denganmu, meski lewat tulisan. sekarang aku akan belajar melupakanmu. melupakan siksaan nikmat saat di dekatmu. aku tau ini berat, tapi adalah yang terbaik bagi kita. 

jaga dirimu baik-baik, ya? 

temanmu, selamanya.. 

SARASWATI