Life, stranger than fictions..

Welcome to my blog! It's a pleasure to have you here reading my hyperbolic scribbles. Some are archived stuff from my other blogs (inactive ones), some are brand new ideas. My words will be too much, overrated, out of line, dysfunctional, confusing, impractical and sometime don't make any sense. But in a hand, they have released my tense.
So enjoy these imaginarium of free mind. In a case you are interested to drop a line, or jes wanna appreciate any posts, don't be hesitate. Do your deed! Release those hustle-bustle inside your brain!

Monday, June 17, 2013

Peribat amor

"Kau... sadar apa yang baru saja kau ucapkan?"

Hanya kalimat itu yang mampu meluncur dari kerongkonganku. Lelaki di hadapanku mengangguk dengan yakin, arah pandangannya terus tertancap padaku. Begitu lekatnya sehingga aku rikuh sendiri. Sesekali aku menunduk menghindar, mendongak sedikit, dan harus menunduk lagi ketika tatapan tajam itu seakan tak lekang diusir kebosanan.

"Aku sudah memikirkannya masak-masak," balasnya dalam ritme yang datar dan tenang.

Tuhan, apa yang ada di benaknya? Dasar lelaki tak berperasaan, aku tidak siap dengan kejutan semacam ini! Setelah bertahun-tahun mengenalnya, memaafkan setiap perilaku aneh yang mengaduk-aduk perasaan rawanku, selalu mencoba berpikir netral atas segala perhatiannya meski tak pernah terucap kata-kata sayang dan cinta bak sepasang kekasih... aku terus menerimanya. Sebagai, ah, sebagai apa saja! Dan sekarang, lihat bagaimana ia memperlakukanku?


*******************

"Aku ingin kita menikah. Lalu, aku bisa pelan-pelan mati digerogoti penyakit ini," ucapnya tanpa beban.

Gila! Siapa yang menyangka di balik pribadinya yang tenang, fisik yang tampak kuat, dan pembawaan yang penuh kasih itu ternyata ia menyimpan penyakit kanker ganas.

"Lalu apa? Kamu mati dan aku menderita sendirian? Itu egois namanya!" balasku tanpa pikir panjang.

Lelaki itu terdiam. Tatap mata yang biasanya menenangkan itu berubah mengancam. Aku jadi bergidik. Ada aliran penyesalan dalam hati, namun tak ku gubris.

"Mengapa kau berpikir picik begitu? Tidakkah kita semua akan mati, sakit atau sehat? Buat apa kau risaukan hal seperti itu?"

Kini aku yang terdiam.

"Kondisinya, aku kini lebih paham bahwa kematian sudah siap menghabisi hayatku. Ia sedang menunggu waktu yang tanda-tandanya dapat dibaca. Itu saja. Kapan waktu kematian itu tiba, lagi-lagi hanya Pemilik Hayat yang berkuasa," paparnya datar.

Tak pelak mataku memanas, lalu setetes air mengalir dari pelupuknya.


*******************

"Sayang, aku di sini. Jangan tidur, tetaplah tersadar. Ingat Barkah, ia membutuhkanmu. Kuatkan dirimu, jangan menyerah. Aku ingin kamu kuat, sayang."

Sayup-sayup ku coba membuka kelopak mata. Berat sekali. Pusing. Setelah ku kerjap-kerjapkan beberapa kali, mataku menangkap imaji sesosok pria yang pastinya terduduk di samping ranjangku. Ia suamiku. Pandanganku kian jelas; ku perhatikan wajah kuyu suamiku, matanya sembab, aliran air membekas di bawah pelupuk mata, napasnya tersengal-sengal, bulu-bulu tumbuh di daerah cuping hidung dan dagunya. Sudah berapa lama ia menemaniku di sini?

"A.. a... apa yang terjadi?" aku berusaha mengangkat kepalaku sedikit, namun ada rasa sakit luar biasa yang menyambar bagian belakangnya. Suamiku berdiri dengan sigap, memegang dahiku dan membawanya kembali ke atas bantal.

"Sssh.. Sayang, jangan banyak bergerak. Istirahatlah. Kamu belum pulih. Aku di sini, aku akan merawat dan menjagamu."

*******************

Sore itu aku berjalan menyeberangi jalan, menuju apotek dimana aku biasa mengambil 'jatah' obat suamiku. Obat ini sesungguhnya hanya serangkaian suplemen herbalis, bukan antidot penyakit kanker yang menggerayangi kesehatannya. Peniscayaan akan manfaatnya, ditambah keinginan suamiku untuk berlama-lama hidup bersamaku, menisbikan prediksi medis yang mengatakan umurnya tak sampai setahun.

Alih-alih menikmati kebersamaan yang kian panjang, sesungguhnya aku hidup menderita. Menderita karena dihantui kemungkinan suamiku akan tiba-tiba pergi meninggalkanku sendirian. Menderita setiap kali tersadar bahwa ia adalah separuh jiwaku, dan aku akan pincang tanpanya. Menderita karena bahkan sampai detik ini aku mendengar jelas celoteh malaikat pencabut nyawa yang sedang bersiap merampas semua kebahagiaan ini.

Dan saat itulah aku tak awas dengan sekelilingku; tanpa menjajaki lalu lintas dari arah kiri dan kanan, aku melangkah lunglai memotong arteri Margonda yang tak pernah sepi kendaraan. Sekonyong-konyong, sebuah motor menghantamku tanpa ampun. Aku terpental ke tepian jalan.

Semuanya tampak kabur. Aku hanya merasa ada sesuatu yang hangat mengalir di dahiku. Dan, terdengar suara cekikik malaikat pencabut nyawa yang menyayat telinga.