Menulis mungkin bagi sebagian orang menjadi momok. Kekhawatiran akan format yang tidak baku, tidak mengalir, tidak menarik, menjadi bahan cemooh, hal-hal tersebut banyak saya dengar dari teman-teman yang baru mulai menulis. Saya memahami ketakutan-ketakutan itu. Memang menulis bisa jadi lebih sulit daripada menyelesaikan soal Matematika. Karena menulis itu menyusun gagasan dengan kata-kata, yang dibumbui banyak pendekatan dan 'aksesoris' agar menarik perhatian segmen yang dituju. Beda dengan Matematika yang punya rumus pasti dan berprinsip kepada logika, maka ada aneka rumus yang mengejutkan dalam menulis. Dan, semua rumus itu tidak pasti. Nah, loh!
Di balik hal-hal yang menakutkan tadi, buat saya menulis itu meringankan beban di pikiran. Entah mengapa dulu saya baru bisa tidur setelah menulis di jurnal harian. Mungkin karena saya punya masalah berkomunikasi dan mempercayai orang lain, padahal saya punya tendensi ingin berbagi tentang pengalaman luar biasa yang saya alami sehari-hari. Menulis jadi medium yang sempurna.
Nah, cobalah memikirkan motif personal dari kegiatan menyusun kata itu, seperti dalam kasus saya. Seperti halnya keahlian lainnya, menulis membutuhkan latihan yang tekun. Menurut Rosihan Anwar, kunci menulis yang baik adalah dengan banyak membaca berbagai buku, lantas rajin mengamati serta berinteraksi dengan obyek-obyek tulisan. Membaca sangat penting dalam perbendaharaan kata dan pembentukan gaya menulis seseorang, selain gudang pengetahuan tentang tata krama menulis dan tata bahasa yang baik dan benar.
Sudah sepantasnya penulis mengetahui dan peduli pada aturan bahasa yang berlaku. Itu kalau mau jadi penulis yang bermartabat. Salah satu misi seorang penulis kan, mengedukasi pembaca. Tidak hanya sebatas informasi yang terangkum di tulisan, tetapi juga lewat bahasa yang dipakainya. Percayalah, aturan EYD tidak sekaku yang kita duga kok. Cobalah cari buku/artikel karya Rosihan Anwar, dan akuilah bahwa bahasa tulisan beliau selain mengalir sangat lancar dan menarik, juga baku namun tidak kaku.
Kalau sudah mantap dengan gaya penulisan dan ketatabahasaan, saatnya 'merapat' ke obyek tulisan. Mengamati dari jauh atau lewat referensi pihak kedua itu baik, tapi dengan berinteraksi langsung kita mendapat dimensi lain yang dijamin akan membuat tulisan lebih 'berbicara'. Penulis yang malas berinteraksi dengan obyek tulisan akan menghasilkan karya yang tidak membumi. Seperti bergosip, enggak valid.
Berbicara tentang berinteraksi langsung, saya bersyukur pernah menjadi kontributor di sebuah situs pemberdayaan perempuan dan majalah organisasi cepat-tanggap selama lebih dari setahun. Saat itu, tugas saya adalah membuat tulisan profil tokoh-tokoh yang menginspirasi. Maka setiap bulan saya ngobrol santai dengan 2 sosok yang direkomendasi editor saya, atau saya ajukan ke editor. Pada masa itulah saya mempertajam keterampilan berinteraksi, menyusun taktik dalam menggali informasi, menangkap gagasan narasumber yang saya wawancara sehingga dapat terilustrasi dengan tepat di tulisan saya. Beberapa kali wawancara dilakukan lewat medium surat elektronik--yang sejujurnya membuat pekerjaan saya lebih mudah. Tetapi sejujurnya pula saya kurang puas karena tidak bisa menangkap dan merasakan energi dari gestura mereka saat menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Beda banget loh rasanya.
Demikian pula saat meliput kegiatan. Terutama di ranah pemberitaan keras, berinteraksi dengan pihak-pihak yang berbeda sudut akan sangat memperkaya tulisan. Jangan malas atau malu bertanya ke berbagai pihak yang hadir di sebuah acara/TKP. Kadang kejutan datang dari sumber yang terabaikan. Semua temuan itu menghasilkan tulisan yang berbeda. Pembaca pun mendapat sebuah gambaran nyata yang jujur dan adil. Tidakkah kita selalu menuntut sebuah pemberitaan yang nyata, jujur, dan adil?
Buat yang masih tak percaya diri dengan keterampilan menulis, saya mau berbagi teknik saya berlatih di era awal menjadi penulis: mulailah dengan menulis ulang kejadian tak terlupakan yang pernah dialami. Seperti bercerita ke sahabat saja. Atau, tulis ulang satu bagian sebuah buku yang paling disukai. Ubah tema, obyek, bahkan karakternya sesuai selera. Tiru habis-habisan gaya bahasa, plot, dan alurnya. Ulangi lagi dengan tema, obyek, dan karakter lainnya hingga beberapa kali, lalu cobalah membuat plot dan alur yang berbeda. Kalau awalnya dimulai dari latar sejarah atau alasan tokoh melakukan suatu tindakan tertentu, ganti dengan hasil tindakan si tokoh. Rumus awal fakta ditarik dari belakang ke depan, dibalikkan. Bereksperimen yang banyak, dan jangan sungkan bertanya pada sumber-sumber yang dianggap pantas menjadi rujukan, seperti guru bahasa atau kawan jurnalis yang lebih senior. Tidak tau itu bukan dosa, hanya belum dicerahkan saja.
Saat ini sejujurnya saya sedang mentok dalam menulis; entah kemana perginya gairah hidup saya itu. Bukannya sombong, tapi biasanya dalam sehari saya bisa mengkreasi 2-3 artikel feature (kalau reportase bisa lebih banyak lagi). Sekarang, satu sehari saja sudah beruntung sekali. Ini sungguh kondisi darurat!
Sepertinya saya perlu istirahat dan kontemplasi sejenak. Total menyegarkan diri dan stop kerja. Ya, sepertinya saya kelelahan. Saya sudah mulai bekerja sejak 1996, berarti sudah 18 tahun jadi budak industri dimana 14 tahunnya mengandalkan ilmu menulis. Sudah pantaslah kalau break dulu.
Meski kelelahan dan mulai sering kehabisan gagasan untuk menulis, saya sangat bersyukur mencapai tahap ini. Saya bukan penulis top, tidak populer di kalangan jurnalis, bahkan belum pernah punya karya buku. Tapi saya bangga dan takjub dengan semua pencapaian yang biasa-biasa ini. Paling tidak saya mengerjakan sesuatu yang saya suka dan memuaskan hati. Menjadi penulis adalah mimpi yang menjadi kenyataan.
Semoga setelah curhat tak karuan ini para pembaca yang baru ingin jadi penulis tak patah semangat. Dan buat saya, semoga semangat berbagi lewat tulisan dapat menggelora lagi. Amin.
Di balik hal-hal yang menakutkan tadi, buat saya menulis itu meringankan beban di pikiran. Entah mengapa dulu saya baru bisa tidur setelah menulis di jurnal harian. Mungkin karena saya punya masalah berkomunikasi dan mempercayai orang lain, padahal saya punya tendensi ingin berbagi tentang pengalaman luar biasa yang saya alami sehari-hari. Menulis jadi medium yang sempurna.
Nah, cobalah memikirkan motif personal dari kegiatan menyusun kata itu, seperti dalam kasus saya. Seperti halnya keahlian lainnya, menulis membutuhkan latihan yang tekun. Menurut Rosihan Anwar, kunci menulis yang baik adalah dengan banyak membaca berbagai buku, lantas rajin mengamati serta berinteraksi dengan obyek-obyek tulisan. Membaca sangat penting dalam perbendaharaan kata dan pembentukan gaya menulis seseorang, selain gudang pengetahuan tentang tata krama menulis dan tata bahasa yang baik dan benar.
Sudah sepantasnya penulis mengetahui dan peduli pada aturan bahasa yang berlaku. Itu kalau mau jadi penulis yang bermartabat. Salah satu misi seorang penulis kan, mengedukasi pembaca. Tidak hanya sebatas informasi yang terangkum di tulisan, tetapi juga lewat bahasa yang dipakainya. Percayalah, aturan EYD tidak sekaku yang kita duga kok. Cobalah cari buku/artikel karya Rosihan Anwar, dan akuilah bahwa bahasa tulisan beliau selain mengalir sangat lancar dan menarik, juga baku namun tidak kaku.
Kalau sudah mantap dengan gaya penulisan dan ketatabahasaan, saatnya 'merapat' ke obyek tulisan. Mengamati dari jauh atau lewat referensi pihak kedua itu baik, tapi dengan berinteraksi langsung kita mendapat dimensi lain yang dijamin akan membuat tulisan lebih 'berbicara'. Penulis yang malas berinteraksi dengan obyek tulisan akan menghasilkan karya yang tidak membumi. Seperti bergosip, enggak valid.
Berbicara tentang berinteraksi langsung, saya bersyukur pernah menjadi kontributor di sebuah situs pemberdayaan perempuan dan majalah organisasi cepat-tanggap selama lebih dari setahun. Saat itu, tugas saya adalah membuat tulisan profil tokoh-tokoh yang menginspirasi. Maka setiap bulan saya ngobrol santai dengan 2 sosok yang direkomendasi editor saya, atau saya ajukan ke editor. Pada masa itulah saya mempertajam keterampilan berinteraksi, menyusun taktik dalam menggali informasi, menangkap gagasan narasumber yang saya wawancara sehingga dapat terilustrasi dengan tepat di tulisan saya. Beberapa kali wawancara dilakukan lewat medium surat elektronik--yang sejujurnya membuat pekerjaan saya lebih mudah. Tetapi sejujurnya pula saya kurang puas karena tidak bisa menangkap dan merasakan energi dari gestura mereka saat menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Beda banget loh rasanya.
Demikian pula saat meliput kegiatan. Terutama di ranah pemberitaan keras, berinteraksi dengan pihak-pihak yang berbeda sudut akan sangat memperkaya tulisan. Jangan malas atau malu bertanya ke berbagai pihak yang hadir di sebuah acara/TKP. Kadang kejutan datang dari sumber yang terabaikan. Semua temuan itu menghasilkan tulisan yang berbeda. Pembaca pun mendapat sebuah gambaran nyata yang jujur dan adil. Tidakkah kita selalu menuntut sebuah pemberitaan yang nyata, jujur, dan adil?
Buat yang masih tak percaya diri dengan keterampilan menulis, saya mau berbagi teknik saya berlatih di era awal menjadi penulis: mulailah dengan menulis ulang kejadian tak terlupakan yang pernah dialami. Seperti bercerita ke sahabat saja. Atau, tulis ulang satu bagian sebuah buku yang paling disukai. Ubah tema, obyek, bahkan karakternya sesuai selera. Tiru habis-habisan gaya bahasa, plot, dan alurnya. Ulangi lagi dengan tema, obyek, dan karakter lainnya hingga beberapa kali, lalu cobalah membuat plot dan alur yang berbeda. Kalau awalnya dimulai dari latar sejarah atau alasan tokoh melakukan suatu tindakan tertentu, ganti dengan hasil tindakan si tokoh. Rumus awal fakta ditarik dari belakang ke depan, dibalikkan. Bereksperimen yang banyak, dan jangan sungkan bertanya pada sumber-sumber yang dianggap pantas menjadi rujukan, seperti guru bahasa atau kawan jurnalis yang lebih senior. Tidak tau itu bukan dosa, hanya belum dicerahkan saja.
Saat ini sejujurnya saya sedang mentok dalam menulis; entah kemana perginya gairah hidup saya itu. Bukannya sombong, tapi biasanya dalam sehari saya bisa mengkreasi 2-3 artikel feature (kalau reportase bisa lebih banyak lagi). Sekarang, satu sehari saja sudah beruntung sekali. Ini sungguh kondisi darurat!
Sepertinya saya perlu istirahat dan kontemplasi sejenak. Total menyegarkan diri dan stop kerja. Ya, sepertinya saya kelelahan. Saya sudah mulai bekerja sejak 1996, berarti sudah 18 tahun jadi budak industri dimana 14 tahunnya mengandalkan ilmu menulis. Sudah pantaslah kalau break dulu.
Meski kelelahan dan mulai sering kehabisan gagasan untuk menulis, saya sangat bersyukur mencapai tahap ini. Saya bukan penulis top, tidak populer di kalangan jurnalis, bahkan belum pernah punya karya buku. Tapi saya bangga dan takjub dengan semua pencapaian yang biasa-biasa ini. Paling tidak saya mengerjakan sesuatu yang saya suka dan memuaskan hati. Menjadi penulis adalah mimpi yang menjadi kenyataan.
Semoga setelah curhat tak karuan ini para pembaca yang baru ingin jadi penulis tak patah semangat. Dan buat saya, semoga semangat berbagi lewat tulisan dapat menggelora lagi. Amin.