Suatu hari seekor makhluk yang menganggap dirinya anak itik berjalan melewati pematang yang biasa ia lalui jika ingin ke tepian sawah tempatnya mencari cacing dan keong kecil kesukaannya. Dalam perjalanannya anak itik itu berpikir, mengenang masa-masa yang sudah dilewatinya. Masa-masa ia masih bersama induk dan kakak-kakaknya menghabiskan waktu mencari makan, bermain, bergurau, berselisih paham. Sebuah rantai kejadian yang seakan tak pernah habis, dimana kesalahan dan kegembiraan yang serupa berulang kali terjadi, yang jejaknya terukir di jiwa masing-masing anggota keluarga itik itu.
Si anak itik akhirnya paham bahwa pada saatnya kebersamaan itu akan berakhir, seperti juga semua pertemuan yang kelak akan tiba pada satu titik perpisahan. Maka ia memaafkan, berusaha melupakan pengalaman buruk, dan berpikir semuanya terjadi karena agenda yang lebih besar di kemudian hari. Ia bersyukur saja terlahir dengan warna bulu dan paruh yang cenderung suram, dan sayap yang terlalu lebar untuk ukuran spesies mereka, yang sempat menjadi bahan olok-olok kakak-kakaknya, bahkan induknya sendiri. Sebuah interaksi yang dalam pandangan orang tua menjadi suatu kewajaran; menggoda dengan stempel keunikan yang ada pada anak-anak mereka. Hal unik yang memerlukan kedewasaan untuk dipahami sebagai kekuatan. Hal unik yang membutuhkan ketegaran si pemiliknya untuk menerima apa adanya, karena sering kali lingkungan dengan mudahnya menghakimi keunikan dan perbedaan sebagai sebuah ketidakpantasan.
********************************************
Setelah sekian lama, anak itik tumbuh dewasa. Bulu dan paruh yang kusam serta sayap yang lebar itu mulai menjelaskan wujudnya. Si itik buruk rupa ternyata bukan jenis itik manila, bebek, bahkan bukan angsa. Ia adalah seekor burung garuda. Induk aslinya tak sengaja kehilangan sebutir telurnya yang menggelinding ke bawah bukit, dan bergabung dengan sekumpulan telur hijau muda di sebuah semak. Induk itik sempat terkejut melihat telur lurik itu, namun ia mengeraminya juga. Dua telur aslinya sampai gagal menetas, kehangatan energi kasih si induk itik terserap si telur asing.
Sang garuda muda mengepak-ngepakkan sayap kekarnya, sesekali ia seperti melompat. Dalam beberapa kali usahanya, sang garuda pun mengangkasa. Ia tak lagi menjejakkan cakarnya di tanah. Di sebatang dahan pohon yang tinggi, sang garuda memandang jauh ke bawah. Ia memandangi sekelompok itik montok yang selama ini bersama-samanya.
Entah mengapa seketika air liurnya menetes dari paruhnya, dan ia merasa sangat kelaparan...
No comments:
Post a Comment