Life, stranger than fictions..

Welcome to my blog! It's a pleasure to have you here reading my hyperbolic scribbles. Some are archived stuff from my other blogs (inactive ones), some are brand new ideas. My words will be too much, overrated, out of line, dysfunctional, confusing, impractical and sometime don't make any sense. But in a hand, they have released my tense.
So enjoy these imaginarium of free mind. In a case you are interested to drop a line, or jes wanna appreciate any posts, don't be hesitate. Do your deed! Release those hustle-bustle inside your brain!

Saturday, January 15, 2011

The end of the affair: Ketika cinta berakhir, dimana Tuhan berada?

“Kau tak perlu takut. Cinta tidak berakhir, hanya karena kita tidak saling bertemu. Bukankah orang tetap mencintai Tuhan, meski seumur hidup mereka tak pernah bertemu denganNya?”
“Bukan seperti itu cinta kita.”
“Kadang-kadang aku tak percaya ada cinta yang lain dari itu.”
 

Itulah sepenggal percakapan antara Maurice Bendrix, seorang novelis, dan Sarah Miles, istri sahabatnya, yang menjalin cinta rahasia dengan latar perang dunia kedua di London. Kisah fiksi dramatis mereka—dikarang oleh Graham Greene di buku “The End of The Affair”—baru selesai saya baca. Novel setebal 370-an halaman ini punya multitasking content dan memiliki semua aspek yang saya cari di sebuah fiksi: drama, misteri, intrik percintaan, pencarian atas makna kehidupan, dan ironi. Dialog-dialog setiap karakter (baik di antara mereka atau dengan diri sendiri) terasa begitu dalam, bersayap, dan menyentuh perasaan. Di luar intrik perselingkuhan cinta yang penuh hasrat dan mengalami pasang-surut sesuai kepingan fakta yang satu per satu tersusun hingga akhir cerita, esensi novel ini tak lain mempertanyakan keberadaan Tuhan: apakah Dia selalu membuat penderitaan bagi manusia sebagai ‘tanda’ bahwa mereka masih hidup? 

Begini kisah percintaan terlarang Bendrix dan Sarah dimulai: Maurice Bendrix hendak menulis novel yang salah satu karakternya berprofesi sebagai pegawai pemerintah. Untuk menghidupkan karakternya, Bendrix berkenalan dan berteman dengan Henry Miles, pegawai di sebuah departemen. Henry tak menyadari dirinya dijadikan obyek sampai novel Bendrix akhirnya diluncurkan. Dalam proses penulisan, Bendrix banyak berinteraksi dengan istri Henry, Sarah. Sarah adalah wanita yang cantik, anggun, dan tampak percaya diri. Ketika mereka terjerumus ke perselingkuhan, banyak hal yang sedikit demi sedikit mereka padu dari masing-masing kelemahan. Dan selalu menjadi ironi dari hubungan yang tidak wajar; mereka rupanya malah saling menemukan dan tak punya apa-apa lagi untuk dibagi, selain saling menyakiti! 



Mereka lalu menjaga jarak. Bendrix pergi dan menghindari Sarah. Karena kelihatannya tak ada usaha Sarah untuk menghubunginya, Bendrix terperangkap dalam rasa dendam dan kebencian—terutama kepada Tuhan, sampai suatu saat ia bertemu lagi dengan Henry. Keinginan Bendrix untuk mengetahui kabar Sarah menggelora. Mereka pun bertemu lagi, kali ini Bendrix berusaha menutupi kerinduannya dan tampil sebagai seseorang yang kuat. Tapi Sarah malah mengajaknya makan siang di tempat kenangan mereka, dan pertautan terjalin kembali. Lalu perasaan cinta tumbuh dengan subur. 

Tapi cinta kemudian menjadi sebuah keadaan yang membingungkan. Ketika Bendrix yang tak percaya Tuhan dan selalu meragu, dan Sarah yang terlihat tegar namun rapuh di dalamnya, menyadari bahwa mereka sudah menguras habis cinta mereka dan tak ada lagi yang tersisa untuk orang lain, mereka malah harus menghadapi musuh terbesar kehidupan: kematian. Saat tidak ada lagi cara untuk menemukan kebahagiaan bagi satu karakter karena karakter pasangannya sudah tiada, apakah ada cara lain untuk membuat kehidupan jadi bermakna saat obyek kasih sayang direnggut kematian? 



Saya penggemar berat Romo Mangun’s ‘Burung-burung Manyar’, dan novel ini mampu mengembalikan keasikan yang sama. Setiap kalimatnya menghidupkan imajinasi tentang kehidupan gloomy ala London pra-perang dunia kedua, pertemuan-pertemuan rahasia Bendrix dan Sarah, bom-bom yang meledakkan sebagian gedung-gedung di London, dan tingkah-polah mr. Parkis dan anaknya ketika sedang menguntit mrs. Miles. Dan tidak heran kalau Graham Greene piawai benar menggambarkan ambient di cerita ini, karena cerita ini konon pernah dialami sendiri oleh mantan jurnalis di The Times - London, agen rahasia di Sierra Leone, pengelana yang pernah berkeliling dunia dan saksi dari beragam insiden penindasan kelompok minoritas di dunia ini. 



No comments:

Post a Comment