Life, stranger than fictions..

Welcome to my blog! It's a pleasure to have you here reading my hyperbolic scribbles. Some are archived stuff from my other blogs (inactive ones), some are brand new ideas. My words will be too much, overrated, out of line, dysfunctional, confusing, impractical and sometime don't make any sense. But in a hand, they have released my tense.
So enjoy these imaginarium of free mind. In a case you are interested to drop a line, or jes wanna appreciate any posts, don't be hesitate. Do your deed! Release those hustle-bustle inside your brain!

Wednesday, January 26, 2011

Kisah Saraswati & Bima: Pertemuan [teaser 3]

(the agony ends here)



“Saras!”

Rasanya jantungku berhenti berdegup. Di musim dingin yang berkepanjangan ini suasana hatiku tidak karuan, selalu emosional. Mungkin pengaruh kedinginan, atau kebosanan akut akibat empasan badai-badai salju yang jadi menahanku berdiam di apartemen. Kedinginan yang tak hanya jasmani, juga rohani. Hans, suamiku, pun tak mampu menghangatkan jiwaku. Karena sejak aku menerima lamarannya sepuluh tahun lalu, aku sadar aku akan hidup dalam kebohongan. Dia hanya pelarianku. Pelarian dari sosok lelaki di hadapanku kini. Lelaki yang sekarang wajahnya terlihat lebih tirus, kulitnya lebih gelap, rambutnya lebih berantakan. Sebentuk tas ransel tua hinggap di punggungnya. Punggung itu, aku ingat dulu pernah merengkuhnya. Dulu sekali. Aku tak pasti, mungkin 12 tahun yang lalu. Ya, 12 tahun yang lalu.




“Aku mau bilang sesuatu.”

Tangan lelaki itu menggapaiku. Ada aliran elektrik menjangkiti kulitku yang tersentuh kulit tangannya. Ya Tuhan, aku benar-benar membeku! Tapi darahku mengalir deras, tubuhku kepanasan. Dan, oh apa ini yang membuat dadaku tiba-tiba berdebar keras? Kedua kaki ini, mengapa lemas sekali? Telapak tanganku pun mulai melembab, rasanya aku tak akan lama bertahan dalam kesadaran..





“Saras, aku.. aku..”

Aku tak tahan lagi. Mengapa harus ada penjelasan, mengapa? Tak perlu ada kata-kata, aku bahkan tak butuh apa-apa lagi. Toh jiwaku sudah hancur berantakan dihantam pukulan gulir masa dan kenangan yang kejam menertawai pertahanan lemahku. Bagai seuntai bulu aku tertiup hasratku sendiri, laju menuju pelukan lelaki itu. Dan pertemuan dua fisik ini seperti yang seharusnya; seperti kayu yang tersambar api dan mereka menyatu, dan tak mungkin terpisahkan lagi. Dan aku merasa waktu berhenti berjalan. Damai. Tiada beban keduniawian yang melelahkan. Tiada suara-suara rengekan ketiga anakku, suara dramatis penyiar televisi yang menyebar kekalutan dari setiap tragedi, suara alarm pagi yang memecahkan syaraf otakku, suara mesin kopi dan microwave laknat yang menghilangkan kenikmatan makan. Tiada apa-apa lagi. Hidupku sudah tercukupi sekarang. Aku siap mati, Sang Pencipta!





“Saras?”





“Sshh.. Bima, tak perlu. Peluk aku saja.”









Den Haag, South Holland. Mid of November 2010

No comments:

Post a Comment