Life, stranger than fictions..

Welcome to my blog! It's a pleasure to have you here reading my hyperbolic scribbles. Some are archived stuff from my other blogs (inactive ones), some are brand new ideas. My words will be too much, overrated, out of line, dysfunctional, confusing, impractical and sometime don't make any sense. But in a hand, they have released my tense.
So enjoy these imaginarium of free mind. In a case you are interested to drop a line, or jes wanna appreciate any posts, don't be hesitate. Do your deed! Release those hustle-bustle inside your brain!

Monday, January 31, 2011

[archieve] Slumdog Millionaire: slummy face of India

Antara bangga, pedih, atau jujur? Film pemenang Golden Globe dan Oscar, "Slumdog Millionaire", berceloteh dengan gamblang tentang sisi gelap kehidupan pinggiran Kota Mumbay. Tentang kehidupan sepasang kakak-beradik warga muslim yang berubah kehidupannya setelah ibu mereka menjadi korban serangan warga Hindu. Mereka lalu dibawa oleh Maman, pemimpin sindikat pengelola anak jalanan yang kemudian mengeksploitir mereka untuk mengemis atau mengamen.

Salim & Jamal Malik, diikuti oleh seorang anak perempuan yang juga kabur dari kerusuhan antar etnis Muslim-Hindu itu mulanya bersyukur karena dibina Maman. Sampai pada suatu malam Salim melihat sendiri teman-temannya digilir di sebuah kegiatan yang disebut 'malam audisi'. Untuk menambah 'nilai jual' mereka, bagi anak-anak yang cukup 'berpotensi', sindikat itu melukai mata, memincangkan kaki, atau membuat anak-anak itu cacat permanen agar sasaran mereka bersimpati dan memberi uang lebih.

Maka, kaburlah abang-adik itu. Jamal berusaha mengajak Latika. Tapi ketika Latika berusaha menyusul mereka yang sudah di atas gerbong kereta, Salim tak menarik tangannya. Setelah itu Salim dan Jamal berkelana menjadi anak gerbong kereta, berjualan apa saja dan mencuri, sekadar untuk mnyambung hidup. Jamal sempat menjadi tur guide di Agra, sementara Salim memobilisir anak-anak lain untuk bekerja padanya. Sampai akhirnya mereka terdampar di suatu restoran di sebuah hotel. Salim yang berbakat menjadi preman dan ingin cepat mendapat uang, tidak betah di situ. Ketika mereka menemukan Latika sedang dipersiapkan menjadi 'santapan' om-om India di suatu distrik red-light, Salim menembak mati Maman dan membawa Latika ke gembong kejahatan lainnya, Javed. Ia menjadi antek Javed sementara Jamal pergi dan bekerja sebagai 'chai wallah' (anak penuang teh tarik) di sebuah kantor call center di Mumbay.

Bertahun-tahun kemudian Jamal berhasil melacak telpon Salim. Mereka bertemu lagi. Jamal yang cinta mati dengan Latika, menanyakan keberadaan belahan jiwanya itu. Latika rupanya dipelihara oleh bos gembong kejahatan tempat Salim bekerja. Jamal lalu mengajak Latika kabur dengan menemuinya di stasiun kereta esok harinya. Tapi naas, rencana mereka tercium Salim. Karena tahu Latika suka menonton kuis 'Who Wants to Be A Millionaire', Jamal berusaha menjadi peserta program tivi itu. Dia berhasil. Bahkan sampai di babak akhir yang menentukan... 







Sebenarnya film yang dipuja-puji kritikus film di seantero jagad ini diawali dari adegan Jamal yang sedang berlaga di kuis yang sudah mendunia itu. Teknik Danny Boyle 'mengocok' alur, bolak-balik dari masa kini ke masa lalu, tersulam dengan cantik melalui jawaban-jawaban Jamal yang didapat dari pengalaman-pengalaman kelamnya sebagai 'slumdog' (gembel). Jamal yang buta huruf dan hanya pernah memegang sebuah buku dongeng tentang 'the 'three musketeers' bisa mengetahui nama presiden Amerika yang wajahnya tertera di lembar seratus dollar yang ia dapat ketika menjadi tour guide di Taj Mahal, tip dari seorang turis Amerika. 6 tahun kemudian dia bertemu lagi dengan salah satu anak jalanan yang dibuat buta, lalu si buta itu mencium uang itu dan menanyakan wajah orang yg ada di uang tersebut. Setelah disebutkan deskripsinya, si buta menyebut 'Benjamin Franklin'. Itulah jawaban bernilai jutaan rupees di kuis WWTM versi India yg dipandu Anil Kapoor...

Film ini berhasil membangun visual slummy kehidupan perkotaan di India, yang konon super-kumuh dan penuh konflik, menjadi sangat nyata dan alamiah. Budaya mereka yang suka menipu turis, penyuka sinema Bollywood, tradisionalis, bangga akan Bajaj dan supernaturalis ditampilkan dengan apik, meskipun jadinya nggilani (kalau tidak miris). Konon Simon Beaufoy (penulis skenarionya) melakukan riset dengan mewawancara 3 anak jalanan dan mengaku sangat tersentuh dengan cerita mereka yang lucu, penuh petualangan, ironis, dan seringnya (terutama bagi mereka yang berasal dari negara yang sudah mapan) 'menakutkan'.

Menurut saya, film ini pantas meraih Oscar. Nilai-nilai universal tentang persahabatan, perjuangan, cinta, dan faith dikemas dengan tidak menggurui. Tidak ada jeda untuk bosan atau merasa nista. Satu hal lainnya yang saya hargai dari film yang berhasil merangkum genre suspence, komedi, romance, slasher dan action dalam satu paket ini, yakni ending-nya. Tetap, para pemainnya unjuk-gigi menari ala film Bollywood! India, India...

No comments:

Post a Comment