Siapa manusia Jakarta yang sehari-harinya tidak dilengkapi alat komunikasi yang paling mobile, selular? Selular, handphone, atau HaPe, sudah bukan barang mewah lagi. Mungkin yang bikin beda kasta cuma tipe atau kecanggihan si gadget. Sekarang ini rupa-rupa fitur dipepatkan dalam alat berdimensi sekecil itu: kalkulator, alarm, kamera, speaker stereo, perekam bunyi, pemutar musik, radio, penangkap siaran tivi, sampai koneksi internet. Semua dimaksudkan untuk memudahkan hidup sang pemilik. Itu kata pabrikan yang bikin...
Ada nih seorang teman baik yang gemar ganti-ganti HaPe. Dulu, waktu kami sering berwisata kuliner, dia merasa butuh HaPe dengan kamera beresolusi tinggi. “Untuk menangkap momen dan ambien,” katanya. Lama-lama perjalanan kita rada melambat karena isu berat badan dan penipisan isi dompet. Percakapan-percakapan panjang di tengah malam pun berkurang drastis. Maka dia membeli HaPe lain dengan bersistem CDMA. Karena tarif murah, kilahnya. Tapi kemudian dia kerepotan karena harus pegang dua HaPe. Digantilah set HaPe CDMA bawaan operator dengan sebuah HaPe yang mampu memakai dua sistem CDMA dan GSM. HaPe dengan kamera resolusi tingginya diberi nomer GSM lain. Jadi, dua HaPe masih di genggamannya. Terakhir, HaPe berkamera ditukar tambah dengan HaPe super canggih yang berparas dan berperilaku bak Blackberry. Katanya, HaPe itu bukan untuk bertelepon ria melainkan untuk koneksi internet. “Dengan begini, bisa selalu update status di fesbuk,” ujarnya. Dia tetap pegang dua HaPe lainnya.
Teman yang lain mendapat pinjaman (lungsuran) HaPe berdimensi mirip Blackberry dari kantor barunya. Satu-satunya cacat dari selular itu adalah ‘kelemotannya’: makan waktu 5-6 menit untuk mengirim 1 pesan SMS. Selama proses pengiriman tidak bisa menerima panggilan. Rencananya benda pinjaman itu akan ditarik lagi oleh pemiliknya, maka teman saya siap-siap mencari pegangan baru. Pilihan jatuh pada HaPe setipe dengan yang dimiliki teman baik saya di atas. “Gue butuh koneksi internet, Cip. Lagipula HaPe itu sudah 3.5G kan? Pasti cepat deh,” begitu dia berargumen. Tapi apa daya, ketika kita browsing ke mal, isi dompet tidak memadai. Bantuan kartu kredit saya juga tidak menolong. “Gila, mahal banget!” jeritnya. Alternatif tipe lainnya tidak dilirik sama sekali. Susah memang kalau pilihan sudah jatuh pada tipe yang paling superior. Lainnya jadi terlihat kuno sekali!
Lain lagi dengan sepupu saya yg selalu berubah HaPe setiap kali kami bertemu. “Sekeun. Beli dari tetangga. Murah mbak,” katanya. Di lain waktu, dia sudah pegang HaPe baru, “Yang ini bisa simpan MP3 sampai 100-an!” Tak lama, HaPe dia sudah lain lagi. “HaPe ini ada banyak games-nya, mbak. Lihat tuh, ada Sims. Kapasitas memorinya besar,” jelasnya. Saya tersenyum saja melihatnya.
Abang saya terkenal sangat slebor dg HaPe (dan barang-barang lainnya). Entah melayang kemana alam sadarnya, tapi HaPe dia hampir tidak pernah bertahan lebih dari sebulan. Kalau tidak tertinggal di suatu tempat, ya hilang diambil pencuri (karena tergeletak sembarangan). Pernah secara tidak sengaja saya menemukan HaPe dia di balik tumpukan majalah dan koran, dalam keadaan mati (batrenya habis). Setelah dihidupkan, ada sekitar 20-an miscall dan sejumlah SMS baru.
Ada lagi teman SD yg suka mengunduh ringtone dan gambar-gambar dari HaPe saya. Terakhir HaPe-nya malah dibeli teman sekantornya karena kontennya dinilai bagus. “Ditawar tinggi. Sebenarnya sayang, tapi kapan lagi? Keburu harganya tambah jatuh,” begitu jelasnya. Dia lalu membeli HaPe baru lainnya, yang kapasitas penyimpanannya besar. Lalu dia mulai mengunduh semua konten dari HaPe saya. “Tapi suaranya bagusan dari HaPe elu, ya?” sesalnya. HaPe sebelumnya se-merk dengan HaPe saya.
Saya sendiri sudah pegang HaPe yg sekarang selama 4 tahun lalu. Generasi pertama yang berfitur kamera dengan resolusi lumayan. Kapasitas penyimpanannya amat kecil dibanding HaPe-HaPe masa kini. Saya beli ketika baru diluncurkan, jadi terbayang harganya masih sangat tinggi. Kondisinya sudah lumayan belel. Selain sering terjatuh, pernah beberapa kali tercebur ke got tempat wudhu’ dan (maaf) kloset. Blup-blup-blup, trus mati. Saya hampir pingsan waktu pertama kali sadar HaPe masuk ke dalam kloset. Sesuai petunjuk saudara yg pernah bekerja di tempat reparasi selular, saya langsung membuka batre, sim card, dan berusaha mengeringkannya. Mulai pakai tissue, hairdryer, disinari lampu duduk, sampai dijemur di terik matahari. Tiga hari dunia sepi karena HaPe ko'it. Alhamdulillah, HaPe itu menyala lagi di hari keempat, meskipun ada bercak jalan air di display-nya. Saya berkaca-kaca sedih melihat bercak itu. Khawatir kalau tiba-tiba blep, mati. Mau dilego juga pasti harganya anjlok, atau malah tidak ada yg mau beli. Tiap malam HaPe itu saya letakkan di bawah sinar lampu duduk di samping tempat tidur. Ajaib. Sebulan kemudian bercak itu hilang!
Awal tahun lalu saya sdh ancang-ancang mau ganti HaPe. Tapi batal gara-gara musibah mobil tertabrak bus. Awal tahun ini sedikit terpikir untuk lihat-lihat HaPe baru. Tapi kok sepertinya HaPe tua saya masih bagus, ya?
Ngomong-ngomong HaPe tua, sebenarnya saya harus malu dengan teman saya yang lain lagi. Dia manajer pertunjukan sebuah teater seni yang sedang hip di Jakarta. Teman saya ini bergaul dengan berbagai kalangan, gayanya cukup trendi, dan up-to-date dengan kemajuan zaman. Pasti Anda mengira HaPe-nya semodern pemiliknya? Tidak, salah. Sure, dia pegang dua HaPe (menandakan pemiliknya sibuk), tetapi dua-duanya “busuk”! Salah satunya dari merk yang sekarang sudah tidak eksis lagi, yang kalau diaktifkan langsung memancarkan cahaya biru mesum. Belum berwarna lengkap spt HaPe-HaPe sekarang. Bentuknya mirip ulekan batu dari zaman prasejarah, lapisan luarnya kusam dan ngletek di sana-sini. HaPe satunya lagi lebih parah. Setiap kali ada panggilan, teman saya akan langsung menjawab: “Maaf, gue lagi sibuk. Kirim SMS aja, tulis urusan elu di situ. Nanti gue akan hubungi elu.” Banyak yang komplen, menduga itu voicemail. Tidak, salah lagi. Sesuai bocoran dari teman saya ini, suara lawan bicaranya konon sudah tidak bisa didengar lewat receiver HaPe itu. Makanya dia meminta lawan bicara untuk kirim SMS. La wong pas diangkat enggak terdengar suara apa-apa! He-he-he… Tapi teman saya tidak mau mengganti HaPe busuknya itu. “Buat apa? Yang penting ‘kan berfungsi. HaPe itu untuk menelepon, so far gue masih bisa pakai kok!” kilahnya. Benar juga.
Saya jadi malu kalau tiba-tiba berhasrat ingin mengganti HaPe. Kondisinya masih baik. Lagi pula belum ada fitur tambahan yang mengakomodir kebutuhan saya: setrikaan. Jadi, bisa merapikan blus kusut sambil menjawab panggilan.
“Ring, riiing...!”
“Halo? Ouch! My ear!”
Ada nih seorang teman baik yang gemar ganti-ganti HaPe. Dulu, waktu kami sering berwisata kuliner, dia merasa butuh HaPe dengan kamera beresolusi tinggi. “Untuk menangkap momen dan ambien,” katanya. Lama-lama perjalanan kita rada melambat karena isu berat badan dan penipisan isi dompet. Percakapan-percakapan panjang di tengah malam pun berkurang drastis. Maka dia membeli HaPe lain dengan bersistem CDMA. Karena tarif murah, kilahnya. Tapi kemudian dia kerepotan karena harus pegang dua HaPe. Digantilah set HaPe CDMA bawaan operator dengan sebuah HaPe yang mampu memakai dua sistem CDMA dan GSM. HaPe dengan kamera resolusi tingginya diberi nomer GSM lain. Jadi, dua HaPe masih di genggamannya. Terakhir, HaPe berkamera ditukar tambah dengan HaPe super canggih yang berparas dan berperilaku bak Blackberry. Katanya, HaPe itu bukan untuk bertelepon ria melainkan untuk koneksi internet. “Dengan begini, bisa selalu update status di fesbuk,” ujarnya. Dia tetap pegang dua HaPe lainnya.
Teman yang lain mendapat pinjaman (lungsuran) HaPe berdimensi mirip Blackberry dari kantor barunya. Satu-satunya cacat dari selular itu adalah ‘kelemotannya’: makan waktu 5-6 menit untuk mengirim 1 pesan SMS. Selama proses pengiriman tidak bisa menerima panggilan. Rencananya benda pinjaman itu akan ditarik lagi oleh pemiliknya, maka teman saya siap-siap mencari pegangan baru. Pilihan jatuh pada HaPe setipe dengan yang dimiliki teman baik saya di atas. “Gue butuh koneksi internet, Cip. Lagipula HaPe itu sudah 3.5G kan? Pasti cepat deh,” begitu dia berargumen. Tapi apa daya, ketika kita browsing ke mal, isi dompet tidak memadai. Bantuan kartu kredit saya juga tidak menolong. “Gila, mahal banget!” jeritnya. Alternatif tipe lainnya tidak dilirik sama sekali. Susah memang kalau pilihan sudah jatuh pada tipe yang paling superior. Lainnya jadi terlihat kuno sekali!
Lain lagi dengan sepupu saya yg selalu berubah HaPe setiap kali kami bertemu. “Sekeun. Beli dari tetangga. Murah mbak,” katanya. Di lain waktu, dia sudah pegang HaPe baru, “Yang ini bisa simpan MP3 sampai 100-an!” Tak lama, HaPe dia sudah lain lagi. “HaPe ini ada banyak games-nya, mbak. Lihat tuh, ada Sims. Kapasitas memorinya besar,” jelasnya. Saya tersenyum saja melihatnya.
Abang saya terkenal sangat slebor dg HaPe (dan barang-barang lainnya). Entah melayang kemana alam sadarnya, tapi HaPe dia hampir tidak pernah bertahan lebih dari sebulan. Kalau tidak tertinggal di suatu tempat, ya hilang diambil pencuri (karena tergeletak sembarangan). Pernah secara tidak sengaja saya menemukan HaPe dia di balik tumpukan majalah dan koran, dalam keadaan mati (batrenya habis). Setelah dihidupkan, ada sekitar 20-an miscall dan sejumlah SMS baru.
Ada lagi teman SD yg suka mengunduh ringtone dan gambar-gambar dari HaPe saya. Terakhir HaPe-nya malah dibeli teman sekantornya karena kontennya dinilai bagus. “Ditawar tinggi. Sebenarnya sayang, tapi kapan lagi? Keburu harganya tambah jatuh,” begitu jelasnya. Dia lalu membeli HaPe baru lainnya, yang kapasitas penyimpanannya besar. Lalu dia mulai mengunduh semua konten dari HaPe saya. “Tapi suaranya bagusan dari HaPe elu, ya?” sesalnya. HaPe sebelumnya se-merk dengan HaPe saya.
Saya sendiri sudah pegang HaPe yg sekarang selama 4 tahun lalu. Generasi pertama yang berfitur kamera dengan resolusi lumayan. Kapasitas penyimpanannya amat kecil dibanding HaPe-HaPe masa kini. Saya beli ketika baru diluncurkan, jadi terbayang harganya masih sangat tinggi. Kondisinya sudah lumayan belel. Selain sering terjatuh, pernah beberapa kali tercebur ke got tempat wudhu’ dan (maaf) kloset. Blup-blup-blup, trus mati. Saya hampir pingsan waktu pertama kali sadar HaPe masuk ke dalam kloset. Sesuai petunjuk saudara yg pernah bekerja di tempat reparasi selular, saya langsung membuka batre, sim card, dan berusaha mengeringkannya. Mulai pakai tissue, hairdryer, disinari lampu duduk, sampai dijemur di terik matahari. Tiga hari dunia sepi karena HaPe ko'it. Alhamdulillah, HaPe itu menyala lagi di hari keempat, meskipun ada bercak jalan air di display-nya. Saya berkaca-kaca sedih melihat bercak itu. Khawatir kalau tiba-tiba blep, mati. Mau dilego juga pasti harganya anjlok, atau malah tidak ada yg mau beli. Tiap malam HaPe itu saya letakkan di bawah sinar lampu duduk di samping tempat tidur. Ajaib. Sebulan kemudian bercak itu hilang!
Awal tahun lalu saya sdh ancang-ancang mau ganti HaPe. Tapi batal gara-gara musibah mobil tertabrak bus. Awal tahun ini sedikit terpikir untuk lihat-lihat HaPe baru. Tapi kok sepertinya HaPe tua saya masih bagus, ya?
Ngomong-ngomong HaPe tua, sebenarnya saya harus malu dengan teman saya yang lain lagi. Dia manajer pertunjukan sebuah teater seni yang sedang hip di Jakarta. Teman saya ini bergaul dengan berbagai kalangan, gayanya cukup trendi, dan up-to-date dengan kemajuan zaman. Pasti Anda mengira HaPe-nya semodern pemiliknya? Tidak, salah. Sure, dia pegang dua HaPe (menandakan pemiliknya sibuk), tetapi dua-duanya “busuk”! Salah satunya dari merk yang sekarang sudah tidak eksis lagi, yang kalau diaktifkan langsung memancarkan cahaya biru mesum. Belum berwarna lengkap spt HaPe-HaPe sekarang. Bentuknya mirip ulekan batu dari zaman prasejarah, lapisan luarnya kusam dan ngletek di sana-sini. HaPe satunya lagi lebih parah. Setiap kali ada panggilan, teman saya akan langsung menjawab: “Maaf, gue lagi sibuk. Kirim SMS aja, tulis urusan elu di situ. Nanti gue akan hubungi elu.” Banyak yang komplen, menduga itu voicemail. Tidak, salah lagi. Sesuai bocoran dari teman saya ini, suara lawan bicaranya konon sudah tidak bisa didengar lewat receiver HaPe itu. Makanya dia meminta lawan bicara untuk kirim SMS. La wong pas diangkat enggak terdengar suara apa-apa! He-he-he… Tapi teman saya tidak mau mengganti HaPe busuknya itu. “Buat apa? Yang penting ‘kan berfungsi. HaPe itu untuk menelepon, so far gue masih bisa pakai kok!” kilahnya. Benar juga.
"Cellular Film Grain," www.danceantonini.org |
Saya jadi malu kalau tiba-tiba berhasrat ingin mengganti HaPe. Kondisinya masih baik. Lagi pula belum ada fitur tambahan yang mengakomodir kebutuhan saya: setrikaan. Jadi, bisa merapikan blus kusut sambil menjawab panggilan.
“Ring, riiing...!”
“Halo? Ouch! My ear!”
No comments:
Post a Comment