Sudah lama Soni menunggu di bangku Stasiun Kota, hampir genap dua jam. Tidak biasanya dia bisa bertahan selama itu. Sungguh sebuah dorongan moral yang kuat yang meneguhkan dirinya untuk menanti dalam ketidakpastian. Ini gila, serunya dalam hati. Mana mungkin perempuan itu memegang janjinya? Kita baru bertemu sebentar, belum banyak hal yang dia ketahui darinya. Mengapa aku bisa sebodoh ini, makinya. Kepalanya tertunduk dalam-dalam.
“Kepada para calon penumpang kereta ekspres jurusan Bogor, diharap menunggu di jalur empat.”
Itu sudah kali ketiga kereta yang harusnya dia tumpangi melintas dan menertawai kekukuhannya. Ada apa bung? Engkau pikir di zaman ini masih ada romantisme picisan macam novel-novel angkatan pujangga baru; yang memberi selembar sapu tangan (bukan terbuat dari sutra pula!) untuk mengikat janji? Aku pasti sudah usang dan kelu terhadap dunia yang selalu ku anggap munafik dan penuh tipu-daya sehingga bisa dengan mudahnya aku mempercayai kenaifan dan ketulusan yang terpancar dari sepasang mata itu. Soni merutuk sendiri.
Tapi, dia lantas terpesona pada ingatannya.
Mata itu. Aku belum pernah melihat kelembutan dan kepasrahan yang sebegitu jelasnya. Sinarnya. Ya, sinar matanya laksana lentera yang mencerahkan. Tiba-tiba kekuatan yang sempat memapar jiwanya menebal lagi. Teringat dia pada pancaran sepasang mata yang, --wah, sebenarnya tidak ada yang begitu istimewa dari mata itu, sungguh. Malah agak kuyu. Ya, begitulah. Tapi pandangannya cerdas, lembut, menenangkan. Sepertinya si pemilik sudah seringkali menjadi saksi atas bermacam tragedi sehingga tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan dalam hidupnya.
“Gila!” seru Soni lagi sambil menepis peluh yang mengalir perlahan dari dahinya. Dia tersenyum saja melihat jarum jam tangannya bergeser pelan, mengarah ke pukul 8. “Seharusnya aku sudah di rumah!”
***
Awal ceritanya bermula ketika Soni berangkat ke kantor seperti biasanya dari Stasiun Bogor. Senin, sekitar pukul 7, jelas Soni sudah tertinggal kereta ekspres yang hari itu berangkat tepat waktu di pukul 6.40. Karena kereta selanjutnya baru muncul pukul 7.40, maka dia serta-merta menaiki kereta ekonomi pukul 7.15. Soni paham konsekuensi menumpang kereta non-ekspres; selain tidak nyaman, kereta ini patuh berhenti di setiap stasiun. Mulai dari Cilebut, Citayam, Depok, sampai stasiun-stasiun kecil seperti UI atau Cawang. Dan pemberhentiannya adalah di Stasiun Gambir, kereta ekonomi tidak diperkenankan berhenti di sana. Soni sudah mengantisipasi dengan turun di Stasiun Juanda, lantas naik ojek ke kantornya yang terletak di bilangan Thamrin. Terbayang dirinya akan mengalami hari yang panjang saat itu. Tapi, Soni tidak menyesalinya…
Setelah bergerak lamat-lamat meninggalkan Stasiun Kalibata, sekelompok orang masuk mendorong penumpang-penumpang lain yang sudah bergelantungan sejak dari Stasiun Lenteng Agung. Sesaat dia tak memperhatikan suasana di sekelilingnya dan terus mendengarkan musik yang dialunkan dari iPod-nya, namun dalam sejurus Soni mendongakkan kepala ke arah perempuan yang kini berdiri di hadapannya. Perempuan itu sedang memandang kosong ke arah pemandangan di luar jendela di depannya, sambil satu tangannya mencengkram tuas kereta dan tangan lainnya memegang sebuah tas kulit coklat. Dari pakaiannya Soni menebak dia pasti bukan orang kantoran, karena meskipun memakai atasan blus formal tetapi dipadu bawahan jins yang sudah pudar warnanya. Perempuan ini tampak tidak memakai riasan yang tipikal karyawati, ya begitulah. Hanya bedak dan, oh dia tidak memakai pewarna bibir pula. Sepatunya pun model kasual, solnya karet dan rata saja. Entah pekerja di pusat perbelanjaan, agen asuransi, atau mungkin mahasiswi sebuah perguruan tinggi.
Ketika sedang asyik memperhatikan, tiba-tiba mata Soni bersirobok dengan perempuan itu. Itulah kali pertama dia tersambar eforia yang tak dimengertinya. Tidak diduga pandangan dari perempuan itu sama sekali tidak mengintimidasinya, tidak seperti pengalaman-pengalaman lain ketika dia usil tertangkap basah sedang memperhatikan seseorang. Justru Soni merasa disapa dengan ramah dan ada aliran gelombang persahabatan yang secara elektris disalurkan dari sinar mata itu. Alih-alih mengalihkan pandangan, Soni tersenyum dan tanpa sadar mengucap “halo,” yang kemudian dibalas dengan sopan oleh perempuan itu. Dia lalu memalingkan pandangannya kembali ke pemandangan di luar sana.
Soni menunduk. Mengapa dia ingin sekali melanjutkan pembicaraan? Apa kira-kira topik yang dapat menarik minat perempuan ini?
“Kepada para calon penumpang kereta ekspres jurusan Bogor, diharap menunggu di jalur empat.”
Itu sudah kali ketiga kereta yang harusnya dia tumpangi melintas dan menertawai kekukuhannya. Ada apa bung? Engkau pikir di zaman ini masih ada romantisme picisan macam novel-novel angkatan pujangga baru; yang memberi selembar sapu tangan (bukan terbuat dari sutra pula!) untuk mengikat janji? Aku pasti sudah usang dan kelu terhadap dunia yang selalu ku anggap munafik dan penuh tipu-daya sehingga bisa dengan mudahnya aku mempercayai kenaifan dan ketulusan yang terpancar dari sepasang mata itu. Soni merutuk sendiri.
Tapi, dia lantas terpesona pada ingatannya.
Mata itu. Aku belum pernah melihat kelembutan dan kepasrahan yang sebegitu jelasnya. Sinarnya. Ya, sinar matanya laksana lentera yang mencerahkan. Tiba-tiba kekuatan yang sempat memapar jiwanya menebal lagi. Teringat dia pada pancaran sepasang mata yang, --wah, sebenarnya tidak ada yang begitu istimewa dari mata itu, sungguh. Malah agak kuyu. Ya, begitulah. Tapi pandangannya cerdas, lembut, menenangkan. Sepertinya si pemilik sudah seringkali menjadi saksi atas bermacam tragedi sehingga tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan dalam hidupnya.
“Gila!” seru Soni lagi sambil menepis peluh yang mengalir perlahan dari dahinya. Dia tersenyum saja melihat jarum jam tangannya bergeser pelan, mengarah ke pukul 8. “Seharusnya aku sudah di rumah!”
***
Awal ceritanya bermula ketika Soni berangkat ke kantor seperti biasanya dari Stasiun Bogor. Senin, sekitar pukul 7, jelas Soni sudah tertinggal kereta ekspres yang hari itu berangkat tepat waktu di pukul 6.40. Karena kereta selanjutnya baru muncul pukul 7.40, maka dia serta-merta menaiki kereta ekonomi pukul 7.15. Soni paham konsekuensi menumpang kereta non-ekspres; selain tidak nyaman, kereta ini patuh berhenti di setiap stasiun. Mulai dari Cilebut, Citayam, Depok, sampai stasiun-stasiun kecil seperti UI atau Cawang. Dan pemberhentiannya adalah di Stasiun Gambir, kereta ekonomi tidak diperkenankan berhenti di sana. Soni sudah mengantisipasi dengan turun di Stasiun Juanda, lantas naik ojek ke kantornya yang terletak di bilangan Thamrin. Terbayang dirinya akan mengalami hari yang panjang saat itu. Tapi, Soni tidak menyesalinya…
Setelah bergerak lamat-lamat meninggalkan Stasiun Kalibata, sekelompok orang masuk mendorong penumpang-penumpang lain yang sudah bergelantungan sejak dari Stasiun Lenteng Agung. Sesaat dia tak memperhatikan suasana di sekelilingnya dan terus mendengarkan musik yang dialunkan dari iPod-nya, namun dalam sejurus Soni mendongakkan kepala ke arah perempuan yang kini berdiri di hadapannya. Perempuan itu sedang memandang kosong ke arah pemandangan di luar jendela di depannya, sambil satu tangannya mencengkram tuas kereta dan tangan lainnya memegang sebuah tas kulit coklat. Dari pakaiannya Soni menebak dia pasti bukan orang kantoran, karena meskipun memakai atasan blus formal tetapi dipadu bawahan jins yang sudah pudar warnanya. Perempuan ini tampak tidak memakai riasan yang tipikal karyawati, ya begitulah. Hanya bedak dan, oh dia tidak memakai pewarna bibir pula. Sepatunya pun model kasual, solnya karet dan rata saja. Entah pekerja di pusat perbelanjaan, agen asuransi, atau mungkin mahasiswi sebuah perguruan tinggi.
Ketika sedang asyik memperhatikan, tiba-tiba mata Soni bersirobok dengan perempuan itu. Itulah kali pertama dia tersambar eforia yang tak dimengertinya. Tidak diduga pandangan dari perempuan itu sama sekali tidak mengintimidasinya, tidak seperti pengalaman-pengalaman lain ketika dia usil tertangkap basah sedang memperhatikan seseorang. Justru Soni merasa disapa dengan ramah dan ada aliran gelombang persahabatan yang secara elektris disalurkan dari sinar mata itu. Alih-alih mengalihkan pandangan, Soni tersenyum dan tanpa sadar mengucap “halo,” yang kemudian dibalas dengan sopan oleh perempuan itu. Dia lalu memalingkan pandangannya kembali ke pemandangan di luar sana.
Soni menunduk. Mengapa dia ingin sekali melanjutkan pembicaraan? Apa kira-kira topik yang dapat menarik minat perempuan ini?
No comments:
Post a Comment