Life, stranger than fictions..

Welcome to my blog! It's a pleasure to have you here reading my hyperbolic scribbles. Some are archived stuff from my other blogs (inactive ones), some are brand new ideas. My words will be too much, overrated, out of line, dysfunctional, confusing, impractical and sometime don't make any sense. But in a hand, they have released my tense.
So enjoy these imaginarium of free mind. In a case you are interested to drop a line, or jes wanna appreciate any posts, don't be hesitate. Do your deed! Release those hustle-bustle inside your brain!

Tuesday, January 11, 2011

Bike to life!

Sebagai produk keluaran tahun 70-an, saya pernah mengalami masa “gila sepeda” yakni di awal usia 6 tahun. Karena ditakdirkan menjadi anggota paling akhir di keluarga, maka saya terbiasa dapat barang-barang eks- kakak-kakak saya, termasuk kendaraan favorit anak-anak ini. Awalnya saya dapat lungsuran sepeda merk ASAHI dari abang saya (dia baru dapat BMX) yang bentuknya (menurut saya) hip sekali: setang lengkung bak harley Davidson, bangku panjang (muat 2 anak) dengan senderan tegak-tinggi, serta sebatang antena yang ‘ereksi’ dengan congkaknya. Itulah sepeda kebanggaan saya di masa kecil. Banyak kejadian dramatis dan emosional kami bagi bersama, termasuk sebuah insiden ketika saya nyusruk ke belukar berduri karena menghindari bapak-bapak gendut keparat yang menghalangi jalan setapak menurun. Karena rem ASAHI rada-rada blong, maka situasi saat itu meninggalkan saya dua pilihan: antara belok ke kiri belukar berduri, atau ke kanan sawah. Alhamdulillah saya batal menabrak si bapak ngehe itu dan memilih banting kiri. Saya terjerembab dengan sukses! Dan, bukannya belukar berduri yang melukai saya, malah kawat rem ASAHI berhasil merobek daging paha kanan saya sampai terlihat tulang putih itu…
Lain waktu, saya pergi bersepeda ria ke kompleks tetangga dimana teman-teman SD saya tinggal. Saya datangi rumah mereka satu per satu. Rata-rata mereka terkesima dengan bentuk sepeda saya yang unik (kuno), dan berkata, “sepeda kamu aneh!” Waktu itu saya tidak paham dengan termin mental seperti aneh, kuno atau baru, malu atau bangga. Memang apa salahnya punya sepeda kuno? Toh kalau kita adu balap, seringnya saya yg menang!
Masa bodohlah dengan teman-teman yang mulai membuat saya tidak nyaman, saya memilih pergi dengan teman-teman masa kecil lain bersepeda ke tempat-tempat yang jauh. Suatu hari kami mengayuh sepeda sampai ke Bojong, mencari bibit ikan cupang untuk kemudian dikembangbiakkan oleh teman saya itu. Setelah anak-anak ikannya bertambah besar, dijual dengan harga lima ratus rupiah per ekor. Itu uang yang sangat besar yang dibuat anak sekecil kami pada masa itu.
Masa kejayaan ASAHI berakhir ketika ayah mengumumkan saya berhak mendapat sepeda baru karena prestasi sekolah. Wah, deg-degan dan nervous sekali perasaan saya waktu bersama ayah-ibu menelusuri deretan pedagang sepeda di pasar rumput. Rasanya sepeda yang berjajar di sana melambaikan tangan, memanggil-manggil saya, “hai, pilihlah aku!”, “aku akan jadi sahabat terbaikmu!”, “mampir dong, di dalam ada macam-macam warna ya!” (yang terakhir itu seperti gaya enci-enci di ITC, hehe.)
Pilihan pun jatuh ke sepeda mini merk SHIMANO warna merah. Cantik sekali. Merahnya laksana cabe keriting ranum yg siap diulek menjadi sambel yang pedas luar biasa. Di bagian depan ada wadah berwarna hitam, di bagian belakang ada boncengan besi warna hitam juga. Tapi yang paling menarik hati adalah klakson sepeda model futuristik yang kalau ditekan tombolnya akan berbunyi, “tulit-tulit-tuliiiit!” Saya yakin bebek-bebek yg menghalangi jalan akan segera berurai mendengarnya.
Saya tidak ingat bagaimana cerita akhir dari ASAHI, tapi kalau tidak salah ibu saya melegonya ke gerobak abu gosok. Remnya sudah tidak tertolong lagi, tubuhnya pun mulai ditumbuhi karat. Tidak ada perpisahan yg melankolis waktu itu, lagi pula saya terlalu sibuk dengan SHIMANO merah saya.
Masa bersepeda mulai pudar di hidup saya ketika masuk SMP. Entah karena nasib atau memang bodoh, saya terdaftar ke SMP yang letaknya jauh sekali dari rumah. Ibu pun mendaftarkan saya naik jemputan. Hanya bertahan 1 tahun. Setelah itu saya berjuang naik mikrolet yang pada masa itu seringkali menolak mengangkut pelajar. Saya hanya memakai SHIMANO kalau disuruh ibu ke pasar atau ke warung. Dan karena nature sepeda yang merapuh kalau jarang dipakai, SHIMANO pun mulai kehilangan pesonanya, dimakan usia dan karat yg ganas. Seronok warna merahnya kian pudar.
Lalu ada mountain bike merk FEDERAL yang dibeli mahal oleh ayah. Dia mewanti-wanti kami untuk tidak mencoba sepeda itu. Warna FEDERAL paduan putih-biru, cerah sekali. Kami tidak ada yang berani memakainya, hanya sesekali memandang dan mengelus sepeda kebanggaan keluarga itu.
Suatu hari ibu memanggil saya. “Kamu tidak pakai sepeda merah itu lagi ya? Diberikan ke anaknya pak supir saja ya? Sepeda itu sudah terlalu pendek ‘kan?” cerocos ibu. Saya mengangguk patuh. Ah, masih ada BMX. Tapi entah kenapa saya merasa kehilangan sekali waktu itu. Dan tak lama ada orang yang mencuri BMX abang saya.
Beberapa tahun kemudian hadir motor bebek HONDA dan mobil keluarga TOYOTA. Keberadaan sepeda makin tersisih dan tidak lagi menarik minat kami. Di akhir masa SMP saya sering curi-curi meminjam mobil, dan masuk SMA saya memakai motor ke sekolah.
Begitulah. Sampai di akhir tahun 2007 saya menemukan seonggok sepeda FEDERAL tua di sudut garasi. Kondisinya parah. 30% bagiannya karatan, kedua bannya sudah getas dan kempes, dan sadelnya merekah. Alih-alih kepribadian jantannya sebagai mountain bike, si tua itu saya temukan sudah ditambahi dengan boncengan dan wadah barang sehingga terlihat seperti sepeda mini yg feminin.
Saya sedih sekali melihatnya. Saya bertekad mengembalikan harkat dan martabat sepeda itu agar kembali berjaya di kehidupan yang fana ini. Dengan sisa cat mobil dan harapan kembali memasukkan kegiatan bersepeda dalam keseharian, saya habis-habisan merestorasi FEDERAL tua agar layak jalan. Voila! Sejak Mei 2008 saya sudah rutin bersepeda di sabtu atau minggu pagi menelusuri kompleks tetangga, dimana teman SD saya tinggal. Dan kegembiraan bersepeda itu muncul lagi dan merasuki jiwa saya:
“I wanna ride my bicycle, I wanna ride my bike!” (Queen) 
Si tua direstorasi habis-habisan!
Nah, kalau bentuknya seperti ini 'kan gowesnya jadi semangat..
Tarik, gan!



2 comments:

  1. mba cippii.. akhirnya aku baca jg blogmu! :))

    kenangan naik sepada itu emang ga bs dilupakan ya.. seruuu!! emang hampir sama ya, haha, aku tau deh perasaan wkt sepeda kita beda sama sepeda anak2 yg lain, terutama sepeda cowok itu! :P

    kok sepeda federal-nya dikasih keranjang sih? kan jd kurang macho :D

    Dan thn 70a-an? aku blm lahiiir.. ih mba cippi udah tua ya, hahaha! *kabur*

    ReplyDelete
  2. Hehe tks sdh mampir, silakan dinikmati ;)

    Iya pas aku temuin udah ada keranjangnya, jd aku biarin. Fungsional kok, bisa bawa blanjaan dr warung di depan..

    Iih, aku kan lahir thn 90-an. Itu aku salah tulis.. *bo'ong*

    ReplyDelete